Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

<a href="https://www.pshterate.com/"><img src="Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.jpg" alt="Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu"></a>

Sebelum mempelajari dan membaca Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ini, perlu ditegaskan bahwa ini bukanlah sebagai panduan perilaku atau hal lainnya. Hal ini adalah sebuah pemaparan mengenai naskah kuno yang terkenal dan banyak dipelajari oleh para lelaku spiritual.

Karya Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah karya sastra yang dianggap sebagai salah satu naskah sastra Jawa klasik yang penting. Karya ini ditulis dalam bahasa Jawa dan merupakan salah satu contoh sastra Jawa yang memiliki nilai historis dan kebudayaan yang tinggi.

Meskipun penulis karya ini tidak diketahui secara pasti, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu diyakini berasal dari abad ke-18. Karya ini menjadi bagian dari warisan budaya Indonesia dan merupakan salah satu karya sastra yang dihargai dalam tradisi sastra Jawa.

Dalam karya ini, pembaca akan dibawa ke dalam dunia mitologi dan alegori yang melibatkan berbagai tokoh yang mewakili berbagai aspek kehidupan manusia. Cerita ini menceritakan perjalanan seorang pahlawan yang berusaha mencapai kebijaksanaan dan kebaikan.

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu mengandung pesan moral dan ajaran kebijaksanaan yang penting. Karya ini mengajarkan tentang nilai-nilai seperti kebaikan, kesetiaan, dan kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan.

Dengan gaya penulisan yang khas, menggunakan bahasa Jawa klasik dan kosakata yang khas, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu memberikan gambaran tentang kehidupan dan budaya masyarakat Jawa pada masa lalu. Karya ini menjadi saksi sejarah yang berharga dan penting untuk dipelajari dan dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan sastra dan kebudayaan Indonesia.

Latar Belakang dan Konteks

Sejarah dan Kebudayaan pada Masa Penulisan Karya

Pada masa penulisan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, Indonesia telah mengalami perkembangan sejarah dan kebudayaan yang kaya. Karya ini diyakini berasal dari abad ke-18, yang merupakan periode di mana kebudayaan Jawa mencapai puncak kejayaannya.

Pada masa itu, Kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah menjadi pusat kebudayaan dan politik yang penting. Kerajaan tersebut memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sastra Jawa klasik, termasuk dalam penulisan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Selain itu, pada masa tersebut, agama Islam juga telah tersebar luas di Jawa, dan pengaruh agama ini juga tercermin dalam karya sastra tersebut. Karya ini mencerminkan perpaduan antara nilai-nilai budaya Jawa dan nilai-nilai Islam dalam penekanan pada kebijaksanaan dan kebaikan.

Pengaruh Budaya Jawa dalam Karya Ini

Karya Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu merupakan contoh yang jelas dari pengaruh budaya Jawa dalam sastra. Karya ini menggunakan bahasa Jawa klasik dan mengandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Jawa.

Budaya Jawa pada masa itu sangat dipengaruhi oleh konsep kehidupan yang harmonis antara manusia dan alam semesta. Konsep tersebut tercermin dalam karya ini melalui penggambaran tokoh-tokoh mitologis dan alegoris yang mewakili berbagai aspek kehidupan manusia.

Selain itu, nilai-nilai seperti kebaikan, kesetiaan, dan kebijaksanaan yang dianggap penting dalam masyarakat Jawa juga terdapat dalam karya ini. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya Jawa dalam membentuk pesan moral dan ajaran kebijaksanaan yang terkandung dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Latar belakang sejarah dan budaya pada masa penulisan karya ini memberikan konteks yang penting dalam pemahaman dan penghargaan terhadap karya sastra ini. Mempelajari latar belakang dan konteks tersebut dapat membantu kita untuk lebih memahami nilai-nilai dan pesan yang ingin disampaikan dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Sinopsis

Gambaran Umum Cerita dan Tokoh-tokoh Utama

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu mengisahkan perjalanan seorang pahlawan yang bernama Jendra. Jendra adalah seorang pemuda yang berjiwa mulia dan penuh keberanian. Ia berangkat dalam sebuah perjalanan untuk mencapai kebijaksanaan dan kebaikan yang lebih tinggi.

Dalam perjalanannya, Jendra bertemu dengan berbagai tokoh mitologis dan alegoris yang menjadi mentor dan pengajar baginya. Masing-masing tokoh ini mewakili aspek-aspek kehidupan manusia yang berbeda. Mereka memberikan Jendra pelajaran dan nasihat yang berharga untuk membimbingnya dalam perjalanan menuju pencerahan.

Plot Cerita dan Perjalanan Pahlawan

Cerita Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu mengikuti perjalanan Jendra dalam mencari kebijaksanaan dan kebaikan. Ia menghadapi berbagai rintangan dan ujian dalam perjalanan tersebut. Setiap ujian tersebut dirancang untuk menguji ketabahan, kesetiaan, dan kebijaksanaan Jendra.

Dalam perjalanan tersebut, Jendra menghadapi konflik internal dan eksternal. Ia dihadapkan pada godaan-godaan yang menguji kepercayaan dirinya, tetapi dengan tekad yang kuat, Jendra berhasil mengatasi setiap rintangan yang ada di hadapannya.

Melalui perjuangannya, Jendra belajar tentang pentingnya kebaikan, kebijaksanaan, dan kesetiaan. Ia menyadari bahwa kehidupan tidak selalu mudah, tetapi dengan memegang teguh nilai-nilai yang benar, ia dapat mencapai pencerahan dan memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya.

Perjalanan Jendra dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu menggambarkan perjalanan spiritual dan pencarian akan kebijaksanaan sejati. Melalui cerita ini, pembaca diajak untuk merenungkan arti kehidupan dan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dalam menjalani perjalanan hidup.

Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih

Dalam sebuah naskah kuno yang dikenal sebagai Ramayana, cerita berputar di sekitar seorang penguasa yang memilih untuk melepaskan takhtanya dan memberikannya kepada anaknya. Raja yang bernama Begawan Wisrawa memilih untuk mengundurkan diri dan menyerahkan tahta kepada putranya, Prabu Danareja, di kerajaan yang dikenal sebagai Lokapala.

Sementara itu, di sebuah negeri yang jauh bernama Alengka, pemerintahan dipegang oleh Prabu Sumali yang didukung oleh adiknya, Arya Jambumangli. Di tengah keadaan tersebut, seorang putri yang sangat cantik bernama Dewi Sukesih menjadi objek persaingan di antara para raja yang ingin memperistri dirinya.

Setiap raja yang berusaha untuk melamar Dewi Sukesih harus berhadapan dalam pertarungan satu lawan satu dengan pamannya, Arya Jambumangli. Sehingga, tak seorang pun dari para raja yang mampu mengalahkan paman Dewi Sukesih tersebut.

Hanya ada satu raja yang tersisa, yaitu putra dari Begawan Wisrawa, yaitu Prabu Danareja. Namun, kekuatan ilmu dan keahlian raja ini kalah jauh dibandingkan dengan pamanda Dewi Sukesih. Oleh karena itu, Begawan Wisrawa memutuskan untuk meninggalkan kehidupan pertapaannya dan terjun ke medan perang.

Hanya satu raja yang masih tersisa, yaitu Prabu Danareja, putera dari Begawan Wisrawa. Namun, sayangnya kekuatan ilmu raja ini terlalu lemah dan tidak mampu mengalahkan Dewi Sukesih yang menjadi tantangannya. Maka dari itu, Begawan Wisrawa memutuskan untuk meninggalkan kehidupan pertapaannya.

"Sungguh ada yang mengganjal dalam tapaku, aku merasakan kegelapan. Mengapa negeri kita yang kita cintai mengalami kesengsaraan? Air yang seharusnya memberi kehidupan kepada rakyat tidak lagi melimpah. Seluruh sumber air kembali tersembunyi di dalam samudera. Bunga-bunga layu sebelum bersemi, buah-buah belum matang terjatuh. Apa yang terjadi pada negeri kita ini, wahai anakku?" tanya Begawan Wisrawa.

"Wahai ayahku, cintaku kepada Dewi Sukesih telah merampas seluruh perhatian dan hidupku. Aku tidak dapat memikirkan tentang bangsa dan negeri ini. Yang ada di pikiranku hanya kecantikan Dewi Sukesih," jawab Prabu Danareja.

"Wahai anakku, Dewa sangat marah padamu. Dengan asmaramu, engkau telah mematikan kesuburan negeri ini. Wahai anakku, jangan biarkan cinta mempengaruhi tugas besarmu. Cinta adalah dunia kecil yang dapat menghancurkan dunia yang besar," kata Begawan Wisrawa.

"Wahai anakku, jangan biarkan perasaan asmaramu mengaburkan pandanganmu terhadap kebenaran di dunia ini. Ketinggian nilai-nilai akan tercemar dan kehilangan maknanya jika hanya dilihat melalui perasaan asmaramu. Akan tetapi, sebagai ayah, aku juga pernah merasakan asmara. Biarkan aku yang melamar dan mengambil Dewi Sukesih sebagai istriku. Ayahnya adalah sahabatku. Cintaku padamu, wahai anakku, memungkinkan aku sebagai ayahmu untuk pergi ke kerajaan Alengka."

Setelah Begawan Wisrawa tiba di kerajaan Alengka, kebahagiaan dalam hati raja Alengka, Prabu Sumali, bersatu dengan hangat dalam pelukan sahabatnya.

"Wahai sahabatku Prabu Sumali, ada sesuatu yang mengganggu matamu, yang tak dapat kau sembunyikan," tanya Begawan Wisrawa.

"Wahai sahabatku Begawan Wisrawa, karena anakku, darah para raja harus tercurah di negeri tercinta ini, Alengka."

"Oleh karena itu, aku datang untuk melamar putrimu, atas nama anakku."

Dewi Sukesih dipanggil oleh ayahnya, dan diberitahu bahwa ia akan dinikahkan dengan seorang raja dari kerajaan Lokapala.

"Wahai ayahku, aku bersedia menikah dengan seorang raja atau bahkan dengan seseorang yang miskin sekalipun. Asalkan mereka mampu memahami dan menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu."

"Wahai putri sahabatku, calon suamimu, anakku, tidak akan mampu melakukannya. Dan tidak ada yang akan mampu menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kecuali aku. Aku harus menebus makna ini dengan meninggalkan kekayaan dan kekuasaan sebagai seorang raja. Namun, demi anakku dan demi diriku sendiri, aku akan mewariskan pengetahuan Sastra Jendra kepada mereka," kata Begawan Wisrawa kepada putri Prabu Sumali, sahabatnya.

Begawan Wisrawa juga berkata kepada sahabatnya, Prabu Sumali,
"Wahai sahabatku, aku akan membawa putrimu. Persiapkanlah tempat, sebuah taman yang sunyi dengan hanya bunga Kenanga."

Maka Begawan Wisrawa membawa Dewi Sukesih. Saat mereka memasuki taman yang indah, Begawan Wisrawa memandang Dewi Sukesih dengan cinta seorang ayah kepada anaknya.

"Berdirilah di sini, putriku." Pada saat itu, Dewi Sukesih merasa bahwa ia berada di dunia ini, dan seluruh dunia hanya terletak di telapak kaki Dewi Sukesih dan Begawan Wisrawa. Mereka mampu meraih bulan yang tidak hanya satu, melainkan tiga.

"Wahai Dewi Sukesih, engkau dapat menggenggam bulan. Keanggunan dan keindahan bulan selalu menghina dan merendahkan makna dunia yang fana. Namun di hadapanmu, wahai putriku, bulan menjadi tunduk. Cahayanya engkau ambil dan masukkan ke dalam jiwamu."

Pada saat itu, Dewi Sukesih merasakan keretakan dalam hatinya. Rasa sakit tanpa sebab, seperti membenci seseorang yang tidak ada, merasa gelisah tanpa alasan yang jelas, dan marah tanpa mengetahui penyebabnya. Emosi bergolak dalam diri Dewi Sukesih!

"Wahai putriku, jangan biarkan gelombang emosimu menjadi penguasa di dalam dirimu. Bulan yang sombong menjadi tak berdaya karena engkau mengambil keindahannya dan mengembalikan energinya kepadanya. Wahai puteriku, engkau tidak mampu menerima keindahan bulan sepenuhnya, karena cahaya rembulan membuat bunga-bunga mekar dan binatang-binatang berpasangan. Dengan cahaya rembulan, kehidupan alam ini berkembang. Jangan kau simpan dalam jiwamu. Engkau adalah manusia yang hidup dan bernyawa. Jika kau menyimpan cahaya rembulan dalam jiwamu, berarti kau merampas hak hidup bagi hewan dan tumbuhan. Itulah permulaan dari Sastra Jendra, wahai puteriku."

Maka dengan kekuatan batinnya, Dewi Sukesih mengusir luka di dalam hatinya, rasa sakit dalam perasaannya. Cahaya bulan yang redup, yang telah dicuri oleh Dewi Sukesih, kembali bersinar terang.

"Wahai puteriku," kata Begawan Wisrawa, "Sastra Jendra bukanlah sekadar kata-kata, bukanlah hanya kalimat. Sastra Jendra adalah 'sesuatu' yang memiliki wujud, namun hadir di alam dunia ini. Ia ada di bumi ini, ada di cakrawala, dan ada di mana-mana. Namun, Sastra Jendra tidak mampu tertampung karena wadahnya belum ada."

Setelah Begawan Wisrawa mengakhiri kata-katanya, mereka berangkat ke suatu tempat yang jauh, ke tempat yang sunyi dan menakutkan.

"Wahai Puteriku, jangan menjerit di sini, karena tidak ada siapa pun di sini. Tidak ada yang dapat dipanggil, tidak ada tempat untuk berpijak. Tidak ada masalah apa pun di sini."

"Wahai puteriku, di sini kita tidak memiliki apa-apa, dan di sini kita tidak dimiliki. Dan di sini, engkau juga tidak lagi memiliki dirimu sendiri. Dirimu yang berdarah dan berdaging, dirimu yang memiliki jiwa dan perasaan, sekarang adalah ketiadaan," kata Begawan Wisrawa.

"Kita berada dalam keadaan ketiadaan, rasakanlah, anakku, saat engkau kehilangan rasa memiliki, termasuk memiliki dirimu sendiri. Kita berada dalam kematian. Kematian adalah melepaskan rasa memiliki. Di balik kematian, sebenarnya terdapat kehidupan yang sejati. Kehidupan yang tidak dapat didefinisikan, kehidupan yang tidak dimulai dari awal dan tidak berakhir pada batasan tertentu. Itulah Jatining Hurip."

"Wahai anakku, kematian sebenarnya adalah proses kehidupan yang lebih luas daripada proses kehidupan sebelumnya. Kita berada dalam kehidupan yang sejati. Tenang dan damai, karena kita merasa tidak memiliki dan tidak dimiliki," kata Begawan Wisrawa.

"Wahai Puteriku, saat engkau merasa memiliki, engkau akan dipertanyakan atas kepemilikanmu. Dan saat engkau merasa dimiliki, engkau akan dipertanyakan oleh mereka yang merasa memiliki dirimu. Sekarang kita bebas, kebebasan batin dan perasaan tanpa batas."

"Wahai Begawan, di mana para dewa?"

"Di sini tidak ada dewa, wahai Puteriku. Tidak ada dewa, hanya kita. Jika engkau memikirkan dewa, berarti kita masih 'merasa' ingin memiliki. Tidak ada dewa, hanya kita berdua."

Maka Dewi Sukesih merasakan ketenangan dan kedamaian. Ketenangan yang sangat tinggi dan indah, kedamaian batin yang tak terbandingkan. Mereka pun melangkah lebih jauh lagi.

"Marilah kita melangkah lebih dalam ke angkasa ketenangan."
"Kemana kita akan pergi? Bukankah kita sudah mencapai alam ketenangan, wahai Begawan?" tanya Dewi Sukesih.
"Belum, di atas ketenangan terdapat kedamaian, dan di atas kedamaian terdapat kemegahan kesejukan. Itu tak terbatas, wahai Puteriku."

"Di mana letak puncaknya, wahai Begawan?"
"Puncaknya terdapat dalam cinta. Kita menuju cinta, wahai Dewi Sukesih."
Maka mereka sampai pada suatu perbatasan. Mereka memasuki alam cinta.

"Anakku, kita memasuki Sastra Jendra. Tidak ada alam yang diciptakan oleh Illahi kecuali karena cinta. Manusia dan hewan takkan mungkin ada tanpa cinta. Alam semesta takkan tercipta tanpa cinta. Kita masuk, wahai anakku, ke dalam cinta. Itulah Sastra Jendra."

Mereka memasuki alam cinta. [Dalam Islam, memasuki alam Ar-Rohman]. Dewi Sukesih memasuki alam cinta. Jiwa tidak lagi terbatas oleh ketenangan, tetapi melebihi ketenangan. Tidak lagi ada kata bahagia, nikmat, atau enak. Semuanya di atas segalanya.

Gelombang cinta membawa rambut Dewi Sukesih yang terikat. Rambutnya terurai, bergelombang dengan indah oleh kekuatan cinta. Cinta bisa dirasakan, tetapi tidak bisa dilihat. Cinta bisa dinikmati tanpa melalui kulit dan daging. Karena pada saat itu, Dewi Sukesih tidak lagi memiliki dirinya sendiri. Cinta yang sejati bisa dirasakan oleh sesuatu, ketika manusia kehilangan eksistensi fisik, eksistensi pikirannya, dan eksistensinya. Di dalam alam itu, mengalir sungai yang jernih. Sungai itu tak memiliki nama seperti sungai Eufrat, Nil, atau Ciliwung. Namun sungai itu jernih, mengalir membawa energi cinta dan kasih sayang.

"Wahai Puteriku, lihatlah sungai. Waktu tidak lagi bergerak, tetapi waktu bergerak bersama kita. Seperti sungai yang melepaskan airnya, ia tetap diam. Kita harus menggerakkan waktu, bukan kita yang digerakkan oleh waktu, wahai anakku. Sungai itu tetap diam, tetapi selalu baru. Kehidupan, wahai anakku, harus tetap baru. Usia mengendalikan kita, tetapi kita tetaplah yang baru, baik dalam jiwa maupun perasaan kita. Kita tidak boleh menjadi tua oleh waktu, kita harus tetap muda, meskipun waktu terus menghadang kita. Kekuatan cinta tidak tergerus oleh usia. Tua dan muda tidak mampu merusak kemurnian cinta itu sendiri," kata Begawan kepada Dewi Sukesih.

"Namun demikian, sungai terus mengalir, tak pernah menanjak, wahai anakku. Perhatikanlah kehidupan. Kita tak perlu mencari hal-hal yang meningkat. Kita harus seperti sungai yang mengalir tanpa beban, berbelok-belok diapit oleh gunung. Biasa saja, kehidupan harus tetap mengalir, meski terhimpit oleh masalah yang menyerupai gunung yang menekan."

"Wahai puteriku, jangan menyerah, tetaplah mengalir. Kehidupan tetaplah mengalir." Maka mereka memasuki alam yang baru, yang lebih tinggi. Di sana mereka tak melihat masa lalu. Masa lalu tak ada!

"Wahai Begawan, di mana aku dilahirkan? Aku ketika remaja, saat bermain-main dengan Ayah dan Ibu?"

"Wahai Puteriku, masa lalumu tak ada di sini. Di sini tak ada masa lalu, tak ada perbedaan. Masa lalu adalah bagian kehidupan dunia. Di sini tak ada masa lalu."

"Wahai Begawan, bagaimana dengan masa depanku?"

"Di sini tak ada masa depan. Masa depan adalah hal dunia, karena manusia dunia diciptakan untuk berharap, melihat ke masa depan. Dibangun oleh keinginan, maka melihat ke masa depan, terbentuk oleh rencana dan usaha. Di sini, Puteriku, tak ada masa depan. Tak ada lagi rencana dan keinginan tentang apa dan bagaimana. Di sini adalah keberadaan yang sejati. Bumi hanyalah bayangan kita dalam kehidupan. Itulah, Puteriku," kata Begawan Wisrawa.

"Jika begitu, wahai Begawan, apa itu 'kerinduan'? Aku merindukan masa depan yang lebih baik. Masa depan adalah kerinduan, tapi di mana kerinduan berada? Di tempat ini, tak ada, wahai Ayahku."

"Wahai Puteriku, di sini tak ada kerinduan. Tapi kerinduan ada dalam bathin dan jiwamu. Kerinduan akan sesuatu, itu ada dalam jiwamu. Dan di dalam jiwamu, itu lebih besar, lebih agung, lebih hebat daripada alam ini, wahai anakku. Itulah Sastra Jendra. Sastra Jendra adalah kerinduan yang tersembunyi dalam bathin. Kerinduan bukan kepada anak atau pasangan, kerinduan bukan pada kekasih, kerinduan bukan terhadap harta atau kekuasaan. Kerinduan adalah terhadap sesuatu yang kita pun tak tahu. Itulah Sastra Jendra, wahai anakku."

[Kerinduan ini dalam tradisi spiritual dikatakan sebagai kerinduan dalam kedalaman jiwa] Jiwa yang ada pada setiap individu yang dilahirkan ke dunia. Dalam ajaran spiritual, "Setiap individu yang dilahirkan memiliki fitrah batin, dan jika mereka mengikuti agama tertentu seperti Nasrani, Majusi, dan lain-lain, itu adalah karena pengaruh orang tua mereka yang salah.]

Fitrah batin/jiwa, itulah yang menjadi dasar bagi setiap manusia.
Maka, "Wahai Puteriku, jika engkau merindukan sesuatu, jangan mencarinya di sini. Di sini tak ada masa lalu dan masa depan. Di sini tak ada keinginan dan harapan. Kembalilah kepada jiwa, wahai Puteriku. Jiwa yang mengandung kerinduan."

[Dalam ajaran spiritual, dikatakan, "Janganlah kamu terburu-buru dan bergegas, kembalilah kepada keberadaan yang sudah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu yang sejati, agar kamu dipertanyakan."]

"Kembalilah ke dalam jiwa, di sanalah terdapat kerinduan. Di sanalah terdapat kehidupan yang sejati, wahai Puteriku."

Maka sang Dewi memasuki kedalaman jiwa dan perasaannya sendiri. Kemudian, ia disambut oleh cahaya yang gemilang, sinar yang begitu indah hingga melebihi kecerahan matahari. Dan seluruh cahaya matahari di alam semesta memudar, tak berarti apa-apa dibandingkan cahaya yang datang dari kedalaman jiwanya sendiri.

"Wahai Begawan, apa cahaya itu?"

"Itu adalah cahaya dari apa yang engkau rindukan. Itulah Sastra Jendra, wahai Puteriku."

Ketika cahaya terpancar, terdapat Kebijaksanaan, kebijaksanaan yang tersembunyi, kebijaksanaan yang terpendam di dalam ribuan lapisan perasaan batin. Keberanian batin, ketulusan hati, dan keterimaan, semuanya membentang erat untuk menutupi Kebijaksanaan.

“Wahai Puteriku, bukalah hatimu dengan penuh ketulusan, Puteriku, bukalah hatimu dengan kebaikan, bukalah hatimu dengan ketulusanmu, maka akan muncul Kebijaksanaan. Kebijaksanaan terletak di tempat yang paling mendasar dari ketulusan yang terbuka. Buka hatimu yang baik.”

“Mengapa demikian, wahai Begawan?”

“Karena kebijaksanaan adalah tetes air dari rasa sakit yang tak lagi bisa menyebabkan luka. Dari rasa sakit yang tak lagi menimbulkan hujan kesedihan. Dari tetes kebahagiaan yang tak lagi mampu memberikan kegembiraan. Kegembiraan dan kesedihan, lenyap! Itulah kebijaksanaan, wahai Puteriku. Itulah Sastra Jendra.”

“Kebijaksanaan,” kata Sang Begawan, “Seperti malam yang menyelimuti siang, seperti siang yang berpadu dengan malam. Seperti kematian yang mengenakan jubah kehidupan. Seperti kehidupan yang diliputi oleh kematian. Rembulan di siang hari, matahari di malam hari, itulah kebijaksanaan. Itulah Sastra Jendra, wahai Puteriku.”

Sang Dewi tenggelam dalam lautan kebijaksanaan. Di dalam alam tersebut, sang Dewi merasakan rasa penderitaan yang tak terbatas. Rasa dukacita yang luar biasa. Namun, ketika tingkat penderitaan yang tinggi muncul dalam jiwanya, tiba-tiba, tanpa proses. Ketenangan...kegembiraan yang melonjak! ....Terus seperti itu! Antara sakit dan senang berubah secara tiba-tiba. Perubahan psikologis yang tak mampu menjelaskan perubahan yang begitu besar. Dari kesakitan ke kegembiraan, dari kesedihan ke ketenangan, dari kegelisahan ke kedamaian, secara tiba-tiba. Terus bergantian seperti itu.

“Wahai Begawan, apakah ini?”

“Inilah tangga menuju jagad raya yang tak berujung. Kita datang ke suatu tempat, Sumber Pencipta Alam Semesta ini. Anakku, tangganya terdiri dari lapisan-lapisan penderitaan yang tak terhingga dan kebahagiaan yang tak terhingga.” Sang Dewi pun memasuki.

Ketika jiwanya tidak terjebak oleh kesedihan dan kegembiraan, oleh perasaan dan ketenangan. Ia memasuki sebuah alam di mana di alam ini tidak ada lagi awal dan akhir dari kejadian. Tanpa proses permulaan dan akhir. Maka, sang Dewi merasa malu pada dirinya sendiri. Yang sebelumnya bangga dengan keindahannya, kini, sang Dewi malu pada dirinya sendiri dan malu pada alam, keadaan alam saat itu.

“Wahai Begawan, aku merasa malu pada diriku sendiri.”

“Wahai Puteriku, ketika engkau merasa malu pada dirimu sendiri, itu berarti engkau kembali kepada hakikat kehidupan. Ketika engkau merasa malu pada alam ini, sebenarnya engkau kembali pada asal usul kehidupan. Engkau berasal dari sini, wahai anakku, dilahirkan di dunia ini.”

“Aku juga merasa malu karena kurang pemahaman,” kata sang Dewi.

“Wahai Puteriku, pemahaman tentang malu adalah merasa malu terhadap Penciptamu. Pencipta kita hadir di sini, meskipun tak dapat kita lihat. Namun kita berada dalam genggaman Sang Pencipta Yang Maha Kuasa. Kita sedang berenang di lautan ilahi, wahai Puteriku.”

Tidak lama kemudian, Dewi Sukesih menemukan keindahan, keindahan sebuah permulaan. Di sini, segala sesuatu tidak lagi memerlukan pemahaman yang dipelajari.

Pemahaman tak perlu dipelajari, perasaan-perasaan tak lagi perlu dibentuk. Ia mencapai puncak keindahan yang tak tergantikan.

“Wahai anakku, kita telah mencapai puncak kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan lain selain di tempat ini, wahai anakku. Kebahagiaan ini tidak dapat diperoleh melalui ilmu. Kebahagiaan ini tidak dapat dipetik atau diperoleh melalui perbuatan yang mulia. Kebahagiaan ini tidak berasal dari pengorbanan. Itulah puncak kebahagiaan.”

“Wahai Begawan, jika kebahagiaan ini tidak berasal dari pengorbanan, apa itu?”

“Itulah ‘Hayuningrat’, anakku, Sastra Jendra Hayuningrat. Hayuningrat adalah kebahagiaan yang tidak bergantung pada keinginan untuk berbuat baik, tetapi Hayuningrat adalah ‘Izin Illahi’ dalam memberikan sesuatu. Bukan keinginan kita, bukan jerih payah kita, tetapi kehendak-Nya. Itulah Sastra Jendra Hayuningrat, wahai anakku.”

Hayuningrat adalah penyerahan diri yang total. Kebahagiaan yang meresap sepenuhnya ke dalam jiwa sang Dewi. Dengan itu, muncul kebahagiaan baru yang berlapis-lapis. Semakin tinggi, semakin indah. Ternyata kebahagiaan pun memiliki lapisan tak terhingga, kebahagiaan yang tiada batas.

Terus sang Dewi berusaha untuk melupakan hal-hal duniawi. Ia merasa bahwa dunia terlalu rendah, dan niat baiknya sering kali dicemarkan.

"Wahai Begawan, semua keinginan baik selalu terhalangi oleh kebusukan dunia. Aku enggan kembali ke bumi. Setiap pengorbanan yang kusajikan dengan tulus hati, selalu dihina oleh mereka yang hidup di dunia. Wahai Begawan, setiap rasa cinta dan kepedulian dalam hatiku kutunjukkan kepada rakyat, kepada mereka yang aku kasihi. Namun mereka tak pernah melihat bahwa aku menyuguhkan keindahan dan ketulusan kepada mereka. Aku merasa jijik dengan dunia yang dipenuhi oleh kehinaan dan kekotoran."

"Wahai Dewi Sukesih, Puteriku, jangan biarkan perasaan itu menguasaimu. Usirlah rasa menghina bumi. Karena bumi juga diciptakan oleh Tuhan, dan menghina dunia atau bumi adalah sama dengan menghina Tuhan. Hentikanlah gejolak penjelajahan perasaan seperti itu. Kita masih berada di dua alam sekaligus. Terikat dengan bumi dan menjelajahi hak kita di alam semesta ini."

Namun Dewi Sukesih, dengan kegigihan yang tak tergoyahkan, tetap memilih untuk terus menjelajah. Ia enggan kembali ke dunia. Tiba-tiba, gelombang kegelisahan kembali datang. Kekelisahan tersebut bukan berasal dari keindahan alam ini. Surga Nirwana yang penuh kenikmatan, dengan segala keindahan dan kesempurnaannya, tidaklah menjadi sumber kegelisahan dan kepedihan dalam dirinya. Rasa resah, merasa kotor, merasa terhina, dan tercemar datang dari dalam dirinya sendiri.

"Wahai Begawan, aku merasa malu. Bukan lagi malu seperti sebelumnya, melainkan malu akan kehinaan diriku sendiri. Aku merasa kotor di tempat ini, aku tidak pantas berada di tempat yang suci ini, wahai Begawan. Aku tidak pantas berada di tempat yang agung ini, karena aku telah menciptakan noda itu sendiri, wahai Begawan. Mengapa hal ini terjadi, wahai Begawan?"

"Wahai Puteriku, kita, engkau dan aku, memang berasal dari noda dan berangkat dari noda. Kita memasukkan dunia kesalahan ke dalam diri kita, meskipun berada di tengah-tengah surga yang indah ini," ujar Begawan Wisrawa. "Oleh karena itu, Puteriku, engkau harus menjalani proses 'diruwat', agar Tuhan dapat membersihkan jagad kita yang tercemar. Pangruwating. Karena di dalam jiwa kita terdapat nafsu dan kemarahan yang berlimpah."

Maraklah kemarahan yang tidak terpadamkan, keserakahan yang tak lagi berwujud. Itu harus disucikan oleh Yang Ilahi. Jagad kita perlu dibersihkan, karena kita tetap terjerumus dalam kekotoran, meskipun kita berada di tengah-tengah jagad yang begitu indah, suci, dan agung," lanjut Begawan Wisrawa menjelaskan.

"Marilah kita kembali, Sastra Jendra telah kami jalani, Hayuningrat telah kami jalani. Kita harus kembali ke bumi, segera! Agar Hyang Widhi dapat membersihkan jagad kita yang telah tercemar dalam kekotoran dan noda."

Namun, karena keindahan yang luar biasa itu, Dewi Sukesih terhanyut bersama Begawan Wisrawa, hingga mencapai gerbang Kahyangan, pintu menuju surga, pintu menuju Nirwana, tempat para dewa bersemayam. Gerbang ini dikenal sebagai Sela Menangkep (dalam Islam, gerbang Ar-Royan), pintu masuk surga. Saat mendekati gerbang Sela Menangkep, jagad itu bergoyang. Terdengar jeritan-jeritan Raksasa. Berjuta raksasa datang, hawa nafsu membentuk jutaan raksasa. Aroma yang menyengat. Aroma kematian. Lebih busuk dari bau mayat yang basah. Erangan harimau raksasa. Kemarahan para raksasa bergelora.

"Wahai Dewi Sukesih, raksasa itu tidak ada dalam jagad ini, tidak di gerbang Kahyangan ini. Mereka ada dalam jagadmu. Keindahan wajahmu, erangan harimau. Sebenarnya, kecantikan itu seperti harimau. Senyummu adalah erangan harimau, keindahan tubuhmu adalah raksasa yang buruk rupa. Kemarahan mereka, sebenarnya adalah kemarahanmu, wahai Dewi Sukesih, yang ada di jagad ini. Dan bau yang lebih busuk dari bau mayat yang basah, itu berasal dari hatimu sendiri. Karena manusia tidak mampu membebaskan diri dari persaingan dengan sesamanya, tidak mau melepaskan diri dari belenggu kebencian. Perbedaan dalam kebenaran, meskipun itu kebenaran yang sama, tetap menimbulkan kebencian. Itulah aroma yang sangat busuk, aroma dari mayat yang membusuk, wahai Dewi Sukesih. Dan kau masih memilikinya."

Dan tiba-tiba, muncullah roh-roh halus, lembut, merekah dengan aroma yang sangat harum, melebihi segala jenis wangi. Mereka mengenakan pakaian putih permata, berbusana dengan keputihan yang murni.

"Itu tidak ada dalam jagad ini, itu ada dalam jagadmu, wahai Dewi Sukesih. Itu adalah keabadianmu, kesucianmu, kelembutanmu. Engkau memancarkan keanggunan dari keabadian yang suci."

Dan tiba-tiba terjadi pertempuran antara raksasa jahat dan keabadian yang suci. Pertempuran itu berlangsung tanpa ada yang menang, tanpa ada yang kalah. Keabadian yang suci dikalahkan oleh raksasa jahat, namun seketika itu juga keabadian yang suci bangkit kembali. Begitu juga sebaliknya. Maka pertempuran tidak lagi ditentukan oleh kemenangan atau diakhiri oleh kekalahan.

"Wahai anakku, itulah sifat dunia. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Segeralah kembali ke kehidupan dunia, wahai Puteriku."

Maka keabadian yang halus dan raksasa jahat menghilang, yang tersisa adalah kedamaian di dalam hatinya. Kemudian muncullah kekuatan dalam bentuk sinar yang memancar dari dada Dewi Sukesih.

"Puteriku, itulah Kencana Rukmi. Di antara keinginan untuk menang dan rasa takut akan kalah, ada sesuatu yang netral. Sesuatu yang tidak ingin menang dan tidak ingin kalah. Itulah Kencana Rukmi di dalam dirimu. Kencana Rukmi adalah tempat yang aman, tempat yang paling menyelamatkan. Di sini, di Kahyangan, engkau akan merasa tenang dan aman. Dan di bumi, dengan Kencana Rukmi ini, kamu akan selamat."

[Dalam Islam, Kencana Rukmi dapat diartikan sebagai petunjuk, bimbingan, pencerahan, dan kepastian]. Kencana Rukmi, menghilangkan kegelisahan di tengah malam, memecahkan kegelapan jiwa. Kencana Rukmi menghapus harapan-harapan palsu dari harapan kosong tentang kesenangan duniawi. Kencana Rukmi membenarkan kebenaran yang sejati dan mengecam kebenaran semu. Karena Kencana Rukmi, seperti sinar yang berasal dari sumber Ilahi, menerobos hingga ke dasar bumi.

"Ikutilah, wahai Puteriku, cahaya itu. Kencana Rukmi adalah alat untuk menjelajahi kehidupan. Cahaya dari Tuhan, cahaya Ilahi yang mencapai kedalaman hati." [Dalam Islam, Ihdinas shirothol Mustaqim].

Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih semakin tinggi, mengarungi tingkatan kebahagiaan yang tak terkira, melampaui ketenangan dan kedamaian. Makna ketenangan dan kedamaian itu adalah "sela" atau batasan kecil dari rasa aman di dunia ini. Namun, di jagad ini, di perbatasan alam Kahyangan, keduanya terhanyut oleh keindahan alam kebahagiaan. Di alam kebahagiaan ini terdapat kenikmatan yang tak terbatas, meskipun masih belum tersentuh oleh energi Ilahi. Dengan demikian, Kahyangan atau surga adalah jagad kebahagiaan yang memancarkan energi Ilahi.

"Wahai Dewi Sukesih," kata Begawan Wisrawa, "Kita harus kembali ke bumi dengan segera."

"Mengapa begitu, wahai Begawan?" tanya Dewi Sukesih.

"Karena kita masih memiliki tubuh. Di sini, di alam Kesucian, tidak ada sarana untuk menyucikan tubuh kita. Dan alam ini tidak mampu menyucikan jagad kotor yang kita simpan dalam jiwa kita. Meskipun dunia ini penuh dengan noda, di bumi ada tempat untuk penyucian, tempat untuk membersihkan."

"Namun, Begawan, saya tidak bisa menahan kerinduan yang begitu kuat terhadap sesuatu yang ada di balik Kahyangan. Kita harus masuk ke pintu Kahyangan," kata Dewi Sukesih.

"Apakah, wahai Begawan, yang menarik jiwa ini untuk masuk ke Kahyangan? Pikiranku tidak merindukan kenikmatan surgawi. Tidak merindukan kenikmatan Kahyangan. Namun, hatiku merindukan Sang Pencipta Kahyangan itu sendiri. Apakah itu, wahai Begawan?"

"Itu adalah 'Budi'," jawab Begawan Wisrawa, "Budi yang ada dalam jiwa kita, yang tersembunyi, karena Budi berasal dari Ilahi. Oleh karena itu, ia meronta, bergerak, selalu menuju sumber Ilahi."

Ketika mendekati Sela Menangkep, pintu Ar-Royan, pintu surga terbuka, dengan kegembiraan yang tak terhingga, Dewi Sukesih masuk. Meskipun Begawan menyarankan untuk kembali, Begawan itu sendiri terhanyut dan ingin masuk ke pintu Kahyangan. Akibatnya, bumi gemetar, matahari berubah, alam semesta menjadi kacau! Samudra bergemuruh, banyak permukaan bumi tergenang oleh air laut. Daratan berubah menjadi lautan. Raksasa-rajsasa yang sebelumnya gagah berani, menangis pilu. Rukh jahat meringis kesakitan, meronta, memanggil Hyang Widhi. Mereka memanggil Tuhannya. Kemudian, raksasa-raksasa dalam jagad Dewi pun keluar dan masuk ke Kahyangan, menghalangi pintu-pintu Surga.

"Wahai manusia, belum tiba saatnya engkau meninggalkan dunia. Sayangilah bumi yang engkau hinakan, sayangilah bumi yang engkau injak-injak, sayangilah bumi yang engkau hina." kata raksasa-raksasa dan rukh-rukh jahat yang lainnya.

Para Dewa menjadi gelisah!
Oleh karena itu, Batara Guru memanggil para Dewa, Batara, dan Bidadari untuk berkumpul. "Jagad kita, jagad Nirwana ini mulai terancam," kata Batara Guru. "Ada dua manusia yang mencoba memasuki tempat ini melalui tangga-tangga Sastra Jendra Hayuningrat. Kita harus menutup pintu masuk ini, karena belum saatnya bagi mereka untuk memasuki Indra Prastha yang kita cintai ini."

"Wahai Batara Guru, siapa yang datang?" tanya Batara Narada.

"Dua manusia, seorang perempuan dan seorang laki-laki," jawab Batara Guru.

"Wahai Batara Guru, kita tidak perlu khawatir. Tempat kita, Kahyangan ini, tidak bisa dijangkau oleh manusia dalam wujud perempuan dan laki-laki. Di sini tidak ada pemisahan gender, jadi tidak perlu khawatir. Dua manusia itu belum saatnya memasuki Kahyangan," lanjut Batara Narada, "Meskipun mereka telah memasuki Sastra Jendra, tetapi dalam lubuk hati mereka masih merindukan dosa dan noda. Meskipun mereka telah meredam kerinduan itu sendiri."

"Wahai isteriku," kata Batara Guru kepada istrinya, Betari Uma, "Apa pendapatmu tentang dua orang yang mencoba memasuki Kahyangan ini?"

"Wahai suamiku, meskipun aku seorang wanita, di sini aku telah melepaskan identitas feminin. Kewanitaanku telah kukorbankan dalam perjalanan panjang Sastra Jendra. Di hadapanmu, aku bukan lagi sekadar seorang wanita, tetapi aku menjadi sumber kehidupan yang mula-mula," jawab Betari Uma.

"Bagaimana dengan Dewi Sukesih yang mencoba memasuki Kahyangan ini?"

"Biarkanlah, dia masih membawa keangkuhan seorang wanita, begitu pula sang Begawan yang masih membawa keangkuhan seorang pria. Bukankah Nirwana ini dijaga oleh keangkuhan perempuan dan keangkuhan laki-laki? Seperti aku, wahai suamiku. Ketika aku pernah berada di bumi," lanjut Betari Uma, "Seorang wanita di puncak keanggunannya, di puncak kesuciannya. Taman bunga ada dalam jiwanya, taman bunga ada dalam dagingnya, taman bunga ada dalam perasaannya. Namun bunga Menur dicuri oleh laki-laki. Wanita tidak merasa bahwa kesuciannya dicuri oleh laki-laki. Bunga Menur, aku pun dicuri oleh laki-laki saat berada di bumi. Namun, aku tidak mampu, tidak bisa merampas bunga Menur. Karena keperawanan hanya ada satu kali, bukan dua kali. Keperawananku dicuri oleh laki-laki. Seperti seorang gadis yang tidak menyadari bahwa bunganya telah dicuri dari taman hatinya. Ego wanita membuatnya merasa bahwa kesuciannya tidak dicuri. Karena rasa ego wanita, dia harus memberikan dirinya kepada suaminya. Itulah cinta yang aku rasakan sebagai penduduk bumi, wahai suamiku."

"Terdapat pula seorang lelaki, wahai isteriku," ujar Batara Guru, "Setelah mencuri bunga Menur dari taman hati seorang wanita, seperti seekor lebah yang kehilangan sengatnya. Jangan berharap mereka bisa menikmati Surga, karena bibir mereka tak berada, [Hal ini menjadi catatan dari peristiwa 'Tragedi qolbi']. Lelaki datang ke Surga untuk menikmati kelezatan surga, seperti seekor kupu-kupu yang datang pada bunga raksasa yang penuh dengan nektar, tetapi tak memiliki cara untuk mengisapnya. Karena isapannya hanya satu, yaitu mencuri bunga Menur dari taman hati seorang gadis."

"Dimana letak Sastra Jendra, wahai suamiku? Ketika seorang wanita kehilangan bunga Menurnya, dan ketika lelaki kehilangan sengatnya?" tanya isteri Batara Guru.

"Sastra Jendra tetap ada," jawab Batara Guru, "Menunggu hingga mereka memahami mengapa bunga Menur hilang dan mengapa sengat itu hilang. Kesempatan untuk mencapai Sastra Jendra tidak akan pernah berakhir, wahai isteriku."

Kemudian, semua makhluk di alam semesta datang berbondong-bondong. Di antara mereka ada Warudoyong, Pocong, Singabarong, Jerangkong (roh-roh yang belum sempat memiliki fisik).
Warudoyong adalah roh yang merindukan kehadiran fisik untuk makan dan tidur.

Singabarong, membutuhkan fisik untuk menyatakan cintanya, untuk menyatakan kebencian.
Pocong adalah bentuk roh yang menginginkan fisik, daging, dan darah agar kelaminnya dapat berkembang biak, untuk menikmati kenikmatan seksual. Mereka merasakan sensualitas, tetapi tak memiliki kelamin karena tak berfisik.

Jerangkong, membutuhkan fisik agar dapat menyayangi, membunuh, dan menyiksa sesamanya.
Ada juga roh-roh marakayangan, yang pernah hidup di dunia, namun kematian mereka masih membawa nafsu yang sempurna.

Brakasaan, Banaspati, Gandarwa, serta semua roh baik yang tak berfisik, yang pernah memiliki fisik, roh-roh marakayangan, dewa-dewa dan jin-jin, berkumpul. Mereka melakukan demonstrasi!

"Wahai Dewa Agung Batara Guru, jangan biarkan kedua manusia ini masuk, karena jika mereka masuk, dunia akan hancur. Kami belum siap memiliki daging dan darah, wahai Dewa Batara," kata roh-roh yang belum memiliki fisik.

"Wahai Dewa Agung, jangan biarkan kedua manusia ini masuk, karena aku masih ingin dilahirkan kembali ke dunia. Meskipun sudah hidup di dunia, aku tidak pernah bosan bermain dengan darah dan daging. Itu adalah kenikmatanku," ucap roh-roh marakayangan.

Maka, darah-darah itu mengalir, darah dengan aroma yang busuk, hitam, dan kelam berbicara, "Wahai Dewa, kami adalah tetesan dosa, kami menangis. Meskipun dunia tidak hancur, manusia kehilangan kerinduan kepada kami. Bukankah, wahai Dewa, kerinduan seksual adalah menghisap darah, dan kerinduan akan kelamin adalah simpanan darah? Bukankah memakan harta orang lain adalah mengisap darah, dan mengkhianati orang lain adalah berenang dalam darah? Kami adalah darah-darah yang masih memiliki hak untuk mengalir di bumi. Jangan biarkan darah tidak lagi dirindukan oleh penduduk bumi."

"Wahai Kakanda," ucap Batara Guru kepada Batara Narada, "
Bagaimana kita bisa menghentikan mereka agar tidak masuk ke kahyangan ini?"

"Wahai Dindaku, Jagad Kahyangan ini akan mengusir mereka yang masih terikat oleh perasaan gender laki-laki dan perasaan gender perempuan. Memang mereka telah terbebas dari rasa kepemilikan dan rasa dimiliki oleh siapa pun dan apa pun. Namun, mereka dipisahkan oleh rasa kesucian dari Sukesih dan rasa ketenangan dari sang Begawan Wisrawa. Dindaku, coba mereka. Apakah mereka benar-benar telah melepaskan batasan-batasan kerinduan untuk melakukan dosa lagi. Turunlah (ikutlah) dalam salah satu pergantian," kata Batara Narada.

Maka, Batara Guru masuk ke dalam diri Dewi Sukesih, memasuki alam jiwa yang paling dalam. Batara Guru tidak memasuki jagad pikiran dan jagad rohnya, karena jagad pikiran adalah dunia manusia dan jagad roh hanya dimiliki oleh Sang Hyang Wenang, Allah subhanahu wa ta'ala [mengenai janji roh kepada Allah swt, QS 7:172 'Wa idz akhadzna robbuka min banii adama, qolu balaa syahidna'].

Ketika memasuki pusat jiwa yang paling dalam dari Dewi Sukesih, timbullah perasaan tertentu dalam dirinya. Di puncak kesucian jagad perbatasan Kahyangan, Keagungan dan Kesucian bersatu dengan keagungan dari Begawan Wisrawa. Dalam pandangan Dewi Sukesih, terlihatlah kegagahan, keagungan, dan keindahan akhlak yang dipancarkan oleh sang Begawan. Hal ini menimbulkan kekaguman yang sangat dalam dalam hati Dewi sebagai seorang wanita.

Keagungan jagad Nirwana yang suci memberi sentuhan dari keagungan sikap Begawan Wisrawa. Maka terlihatlah seperti Dewa Batara Kamajaya, simbol kesempurnaan seorang lelaki (seperti nabi Yusuf as dalam Islam). Muncul cinta asmara yang begitu kuat terhadap sang Begawan, cinta dari seorang anak kepada seorang Bapak, lenyap! Yang ada hanyalah cinta seorang wanita kepada seorang pria. Gelombang perasaan ini tidak bisa diungkapkan dengan kuat.

"Wahai Begawan, Aku mencintaimu. Betapa engkau memikatkanku, betapa indahnya alam ini dan betapa bahagianya jiwa ini. Sentuhlah kulitku ini, wahai Begawan." Sang Begawan pun terkejut!

"Dewi Sukesih, anakku tercinta! ... Aku datang untuk anakku, Danareja. Oh, Dewi Sukesih, mengapa pipimu yang merah dan indah harus tergores oleh bara neraka? Mengapa mata-mu yang hitam harus terlumuri oleh abu neraka? Kulitmu yang halus, mengapa harus terhimpit oleh awan nafsu yang membutakan? Mereka memancarkan sinar keinginan yang salah pada tubuhmu yang cantik."

Ketika Begawan Wisrawa mengucapkan kata-kata tersebut, Dewi Sukesih kembali ke kehidupan yang suci.

"Maafkan aku, Begawan ... Maafkan aku, Raja Dewa. Aku tidak mengerti mengapa perasaan seperti itu muncul. Aku menyadari bahwa aku belum layak untuk memasuki Nirwana yang suci," sang Dewi berkata dengan terbata-bata.

Ketika kesadaran akan kesuciannya muncul, Batara Guru terlempar dari dunia jiwa Dewi Sukesih yang tersembunyi. Ternyata kekuatan yang dipancarkan oleh kesucian batin lebih kuat dan luar biasa daripada segala jenis ilmu dan keahlian. Bahkan Batara Guru, seorang Dewa, dapat terlempar! Dalam keadaannya yang terlempar, Batara Guru berbicara kepada kakandanya, Batara Narada, dari jarak yang jauh.

"Wahai Kakanda, betapa luar biasa kekuatan yang terdapat dalam kesadaran yang tinggi dari dunia batin Dewi Sukesih. Sungguh layak baginya menjadi bidadari Surgawi. Dewi Sukesih pantas menjadi ratu dari segala bidadari."

"Benar sekali, wahai Dindaku," kata Batara Narada, "Dewi Sukesih lebih cantik daripada semua bidadari yang ada di Surga. Ketika manusia di bumi mampu mencapai ketinggian moral yang melampaui kecantikan dan keindahan penghuni Surga itu sendiri, itu adalah prestasi yang luar biasa. Saat seseorang mencapai tingkat keikhlasan yang suci, kesucian dalam penerimaan, dan kesucian dalam cinta yang tulus, itu adalah tingkatan yang lebih tinggi dari Nirwana dan Surga itu sendiri," jelas Batara Narada.

Cinta yang dirasakan sang Begawan sebagai seorang ayah ternyata telah menyelamatkannya dari godaan cinta asmara. Dan ternyata, ketika cinta antara suami dan istri melahirkan seorang anak, itu seharusnya "memperkuat" cinta yang ada. Sehingga saat-saat krisis datang, terutama saat dihadapkan pada badai cinta dari pihak ketiga atau saat kejenuhan merasuki jiwa masing-masing, cinta untuk anak adalah kekuatan besar dalam menghadapi semua itu.

Ternyata sang Dewa Batara Guru, dalam kedudukan ilahi-Nya, sangat menghormati kebersihan batin yang dimiliki oleh manusia."

"Namun, wahai Dindaku, apakah engkau melupakan bahwa Dewi Sukesih datang ke tempat ini dengan tujuan mencari calon suami? Meskipun ia telah mencapai puncak kesucian dan nilai dalam Sastra Jendra, tetapi misinya tetap mencari suami. Perhatikanlah hubungan antara pencarian suami dengan kesucian Sastra Jendra. Jika hal itu terjadi, Dewi Sukesih akan terikat kembali oleh kelemahannya, ditarik ke bumi oleh daya tariknya. Sekarang, cobalah masuk lagi ke dalam Begawan Wisrawa, masuk ke pusat kelelakiannya yang perkasa, keanggunan maskulinitasnya. Tampilkanlah sisi maskulinitasnya, 'lelanang ing jagad mandra guna wiwaha'. Meskipun engkau tidak merasa memiliki, namun engkau mampu menghadirkan 'lelanang jagad' di dalam jagad kelelakian Begawan Wisrawa."

Lalu, Batara Guru memasuki alam batin Begawan Wisrawa, masuk ke dalam pusat kelelakiannya yang perkasa, keanggunan maskulinitasnya. Batara Guru terpesona melihat ketulusan dan kemurahan hati sang Begawan. Ternyata sang Begawan dengan sukarela memperlihatkan kekuatan batinnya, karena ia mampu meninggalkan kesombongannya sebagai seorang raja, meninggalkan kekuasaannya atas rakyatnya, meninggalkan istri ratunya, dan meninggalkan naluri seksualnya.

Betapa Batara Guru terpesona, terpesona oleh keindahannya! Jagad Kahyangan adalah dunia yang penuh dengan pesona nan memukau, namun ternyata jagad batin sang Begawan lebih memikat, lebih anggun.

Kagumnya Batara Guru diketahui oleh kakandanya, Batara Narada. "Wahai Dindaku, mengapa engkau begitu terpesona? Di jagad kita, tidak ada pesona keindahan seperti itu. Jagad itu berada di atas jagad Kahyangan ini. Jagad itu sangat dekat dengan Sang Hyang Wenang, sangat dekat dengan Yang Maha Esa, Tuhan kita semua. Jagad batin yang ada dalam hati sang Begawan adalah jagad tertinggi dari surga. Jagad Ilahi."

"Wahai Kakanda, bagaimana caranya aku menggoda sang Begawan?"
"Engkau begitu terpesona sehingga engkau lupa, wahai Dindaku. Kau lupa bahwa jagad itu termanifestasi dalam daging sang Begawan Wisrawa. Cobalah memunculkan jagad dagingnya, jagad diyu-nya," jawab Batara Narada.

Ketika jagad daging sang Begawan muncul, saraf-sarafnya bergetar, dan perasaan aneh timbul dalam dirinya. Terlihatlah kecantikan dan keelokan Dewi Sukesih semakin mempesona. Kehadiran Dewi Sukesih menambah keindahan jagad suci Kahyangan. Pesona Kahyangan semakin memukau dengan wajah dan tubuh yang memikat Dewi Sukesih. Perasaan yang tak terkendali terungkap. Yang biasanya diucapkan sebagai "wahai anakku," kini berubah menjadi "wahai dindaku."

Dewi Sukesih tersentak, terkejut!

"Wahai Dindaku, mengapa kita tidak bersatu? Bersatu dalam jiwa, bersatu dalam perasaan, bersatu dalam batin. Bersatu dalam dunia pikiran dan dunia fisik kita. Agar engkau bisa menyalurkan darah yang indah dari rahimmu, agar dunia menjadi lebih indah dengan darah-darah yang elok. Mari kita lewati malam pertama pernikahan ini, agar pernikahan manusia di dunia ini terasa semakin indah. Dan menjadi impian tertinggi dari harapan kehidupan dunia."

"Wahai Begawan, aku melihat di matamu yang teduh, keluarlah kegelapan yang ada dalam nafsu semua manusia. Mengapa engkau mengambil beban semua nafsu manusia di bumi? Meskipun dikatakan tak bisa dihina, wahai Begawan, meskipun engkau berhasil menghindari menghina dunia, namun engkau mengemban beban nafsu gelap semua manusia di jagad bumi. Mengapa engkau mengisi kegelapan itu dengan birahi? Padahal engkau telah mampu memadamkannya. Dan engkau telah membawa api birahi dari bumi, padahal aku tidak melihatmu mengambilnya dari sana. Mengapa begitu, wahai Begawan?"

Sadarlah sang Begawan.
"Wahai Maha Dewa yang bersemayam di Kahyangan, betapa aku masih menyimpan rasa manusiawi, aku tidak layak menjadi penghuni Kahyangan. Izinkanlah aku dan Dewi Sukesih untuk segera kembali ke bumi, agar kami tidak terperangkap oleh sisa-sisa kemanusiaan kami, yang ternyata masih kuat, berkuasa di dalam jiwa kami."

Saat kesucian muncul dari sang Begawan, Batara Guruh terlempar jauh. Tidak hanya keluar dari batin sang Begawan, tetapi jatuh ke hadapan Batara Narada di Kahyangan. Ternyata ada kekuatan dahsyat dari miniatur Surga yang terdapat dalam batin sang Begawan.

"Wahai Dindaku, ternyata engkau masih kalah oleh kekuatan manusia bumi yang misterius," ucap Batara Narada, yang terlihat terkejut di wajahnya.

"Mengapa demikian, Kakanda?"

"Karena Sang Hyang Wenang Hing Murbeng Agung, pencipta kita. Meskipun murka terhadap penduduk bumi (dampak tragedi qolbi yang luas), namun masih menyimpan kekuasaan-Nya yang tersembunyi dalam nurani manusia. Yang tidak diberikan kepada kita."

"Jika begitu, Kakanda, Sang Begawan sangat pantas menjadi penghuni Kahyangan ini."

"Lebih dari sekadar pantas," jawab Batara Narada, "Lebih dari kita para Dewa, lebih dari para Bidadari. Kita menjadi penghuni Nirwana ini karena takdir Ilahi, walaupun kita menolak, kita tetap menjadi penghuni Kahyangan ini. Namun, jika sang Begawan menjadi penghuni di sini, itu terjadi karena perjuangan makhluk tertentu. Makhluk yang terlahir tanpa derajat, namun mampu mencapai derajat itu. Itu adalah bagian dari pengembangan sisi lain Kekuatan Ilahi."

"Jadi, berarti Sastra Jendra Hayuningrat bukan milik kita," kata Batara Guru.

"Benar, kita tidak memiliki Sastra Jendra, meskipun Kahyangan ini adalah hasil dari Sastra Jendra Hayuningrat. Sastra Jendra Hayuningrat adalah milik Hyang Widhi, milik Ilahi, yang hanya diberikan kepada penduduk bumi yang mampu meningkatkan derajat dirinya. Baiklah, dinda Batara Guru, sekarang engkau bersatu dengan pasanganmu, Betari Uma. Jalinlah cinta kalian melalui wujud fisik kedua manusia itu. Engkau tidak boleh lagi terpesona oleh alam jagad batin mereka. Kembalikan segera fokus ke dunia manusia. Sebagai Dewa, kita memiliki hak dari Yang Maha Agung untuk membangun 'kehidupan' di dalam diri manusia."

Batara Guru memanggil isterinya, Betari Uma. "Wahai kekasihku, kita akan bersatu melalui perwujudan dari kedua insan ini."

"Wahai Kakanda," kata Batari Uma, "Bukankah kita bisa saling berdampingan di Surga ini tanpa perlu menyatu secara fisik? Bukankah keindahan kenikmatan Ilahi bisa kita rasakan tanpa melalui hubungan seksual? Lagipula, kita tidak lagi memiliki bentuk fisik, mengapa harus menggunakan bentuk fisik mereka? Bukankah kita akan melanggar kesucian yang telah kita junjung selama ini?"

Ingatlah akan kemurkaan Allah swt, saat tragedi qolbi terjadi, di mana penciptaan alam semesta dan isinya, melalui proses evolusi (Yaa-Siin), terbentuk melalui penciptaan "alat kelamin". Sementara itu, jasad Adam dikembalikan ke Sidrah sebagai Atma. (Proses pengusiran Adam dari Surga)

"Duhai Dindaku, ini adalah demi kesucian Nirwana. Jangan biarkan kita terpengaruh oleh darah dan daging kedua manusia ini. Kita harus mengusir mereka melalui hubungan kita sendiri."

Maka adentrasi Batara Guru dan Betari Uma ke dalam alam batin Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih. Batara Guru menjelajahi ranah perasaan yang dalam sang Begawan, sementara Betari Uma menelusuri dimensi feminin dalam Dewi Sukesih. Begitu mereka menyelami dunia manusiawi keduanya, semua syaraf dan indra mereka bergetar, memunculkan sensasi yang tak terkendali bagi kedua individu ini.

Tanggapan pertama muncul dari jiwa, pikiran, dan fisik Begawan Wisrawa. Dirasakan olehnya, ia merasa seperti melaju di padang yang tak berujung. Ia sendiri menjadi seekor kuda jantan yang perkasa, berlari dengan bangga. Energi birahi sang pria membuat semua saraf dan pori tubuh meregang. Tubuhnya yang kaku dan otot-otot yang tegap mencerminkan kegelisahan dalam alam pikiran, alam batinnya. Rasa gelisah menghimpit! Birahi yang melanda semakin meregang tubuhnya, semakin kuat pula gelisah yang menyerangnya. Seperti anak panah yang dilepaskan dari busur, sang kuda jantan berlari dengan napas yang memburu, berkeringat membanjir, mencari kuda betina! Sang kuda berteriak dengan kedua kaki depannya melambung tinggi, menendang, melompat-lompat, tak mampu menahan birahi yang meluap, melampaui kekuatan kesucian dan keyakinan dalam jiwanya sendiri.

Kuda jantan semakin tegang, gelisah! Dalam larinya, tidak hanya tubuhnya yang menegang dengan urat-urat yang menonjol, tetapi organ kelaminnya juga meregang seiring dengan langkah kakinya di padang yang tak berujung dan berliku. Begitu hebatnya hawa birahi yang menerpa Begawan Wisrawa, birahi yang belum pernah dirasakannya, meskipun pada masa remaja dan kedewasaannya. Sang kuda terus menuruni dan mendaki, melewati setiap celah gunung, jurang yang terlewati. Ia berlari seperti kuda perkasa yang menjelajahi seluruh padang gelora dengan satu tujuan, mencari kuda betina!

Dalam jagad perasaan manusiawi sang Begawan, ia merasakan keutuhan yang melampaui puncak nafsu manusia di bumi. Hal ini terjadi karena Batara Guru menyusup ke inti jagad manusiawi sang Begawan dan membangkitkan getaran dalam simpul saraf dan inderanya. Para Dewa memiliki hak untuk membangkitkan alam birahi dalam jagad manusia.

Sementara itu, Betari Uma menciptakan nuansa-nuansa imajinatif bagi Dewi Sukesih. Sebab sebenarnya, birahi tak lebih dari ilusi/imajinasi semata. Hanya karena imajinasi itu datang dari pikiran dan perasaan kita, maka seolah-olah itu menjadi sesuatu yang nyata.

Maka Dewi Sukesih terlihat seperti seorang wanita yang bermandikan diri di telaga yang penuh pesona, Taman Firdaus, telaga Nirmala. Sentuhan tangan Dewi pun melintasi tubuhnya yang terbuka, memunculkan sensasi erotis yang membara. Dengan lembut, jemari-jemarinya menjelajahi setiap lekuk tubuhnya. Saat itu, kesucian alam Sastra Jendra Hayuningrat seakan sirna! Bahkan sentuhan air yang meluncur mampu menimbulkan erotisisme yang tak tertandingi. Dewi berenang di telaga Nirmala, memetik bunga-bunga yang tumbuh di permukaan telaga, lalu menyentuh tubuhnya dengan bunga-bunga tersebut, menghadirkan erotisisme yang menggairahkan, erotisisme yang tak tergambarkan dalam dunia ini.

Ternyata, benda-benda itu sendiri sudah cukup mampu membangkitkan erotisisme yang meluap-luap bagi Dewi, tanpa kehadiran apapun, tanpa keberadaan organ kelamin laki-laki, tanpa keberadaan pria! Dan betapa kuatnya gairah dalam diri Dewi Sukesih ini. Sentuhan-sentuhan bunga teratai surgawi semakin memperkuat rangsangan erotisisme sensual bagi Dewi. Ikan-ikan di dalam telaga pun bermain-main dengan iseng pada tubuh telanjang Dewi, juga mempersembahkan kenikmatan yang menakjubkan dalam sensasi sensual bagi Dewi.

Maka puncak kepuasan sensual Dewi belum juga tercapai. Dewi pun bangkit dari telaga yang indah tersebut, bermain berguling-guling di taman. Sentuhan rumput di taman menyulut gairah yang menggelitik. Dari celah-celah taman, muncul seekor ular besar, dan Dewi membiarkan ular itu mendekat, menjalar, dan menjilati tubuhnya. Ular itu melilit Dewi mulai dari ujung kakinya hingga ke lehernya, menghadirkan puncak erotisisme yang sempurna. Tidak ada tempat lain yang serupa. Dewi mengeluarkan jeritan yang memukau. Jeritan itu adalah pengakuan akan kerinduannya akan kehadiran fisik seorang pria, kerinduannya akan sentuhan, ciuman, dan terutama kerinduannya akan keberadaan organ kelamin seorang pria. Terlepaslah erangan-erangan desah Dewi.

Dalam kegelisahan jeritan dan desahan Dewi, dirinya berubah menjadi seekor kuda betina yang bergumul, berputar-putar, menggosok-gosokkan tubuhnya, tersiksa oleh kehangatan birahi!

Dan pada saat kuda jantan yang sedang mencari kuda betina bertemu, keduanya bersatu. Mereka berputar-putar bersama, menggigit satu sama lain sambil bergabung dalam persetubuhan. Saat organ kelamin kuda jantan menyatu dengan organ kelamin kuda betina, kesadaran pun menyadari Dewi! Kesadaran pun menyadari Begawan! Namun, pada saat itu, semuanya sudah terlambat.

Saat itu, tetesan dari tubuh sang Begawan melambangkan kelengkapan, dan saat kegairahan organ kelaminnya memasuki rahim Dewi, sperma pun dilepaskan. Hubungan suami-isteri yang sempurna melebihi kenikmatan yang telah mereka rasakan sebelumnya.

Sementara itu, menjelang puncak persatuan mereka, Batara Guru dan Betari Uma dengan cepat meninggalkan tubuh keduanya dan melaporkan kepada Batara Narada.

"Wahai Kakanda, sungguh! Mereka masih merindukan dosa-dosa tersembunyi. Meskipun mereka telah mencapai tingkat kesucian yang paling tinggi, melebihi kesucian kami para Dewa, mereka masih memiliki kelamin yang terikat dalam Jagad Sastra Jendra Hayuningrat. Wahai Kakanda, betapa keagungan dan kesucian Sastra Jendra masih harus mereka perjuangkan melalui kelamin mereka. Mereka harus kembali ke bumi dengan kelamin mereka."

Begitu terpapar oleh birahi yang dahsyat, semakin tinggi birahi yang dirasakan keduanya, semakin mereka turun dari Kahyangan. Suara kejantanan yang bergemuruh dari sang Begawan dan jeritan kefemininan dari Dewi mencapai puncak persatuan mereka, dan mereka kini berada di Taman Arga Soka. Taman yang telah disiapkan oleh Prabu Sumali, ayah Dewi Sukesih.

Saat menyadari hal itu, keduanya berada dalam keadaan tanpa busana. Reaksi pertama mereka adalah segera mengambil pakaian mereka yang tergeletak di dekat mereka dan segera menutupi tubuh mereka.

(Seperti yang tertulis dalam Al-Qur'an: "....Adam dan Hawa segera mengenakan daun-daun surga untuk menutupi aurat mereka.")

Mereka tercengang, tertekan oleh rasa malu yang tak terperikan! Setelah keduanya selesai mengenakan pakaian mereka, terlihat bahwa pakaian Dewi, pakaian indah putri seorang raja yang seluruhnya berwarna putih, terdapat noda darah keperawanan Dewi. Bunga Menur, seorang gadis yang suci, gugur.

Begawan berkata kepada Dewi Sukesih, "Wahai kekasihku, kita sudah terikat sebagai suami dan istri, dan kita tidak perlu melaksanakan pernikahan lain atas persetujuan orang tua kita. Kita tidak perlu upacara pernikahan yang diakui oleh masyarakat, oleh umat. Dan kita pun merasa malu untuk meminta persetujuan dari Dewa untuk mengesahkan pernikahan kita. Kita dinikahkan oleh nafsu kita. Bukan oleh alam semesta ini, bukan oleh orang tua kita, dan bukan pula oleh Sang Hyang Wenang, Tuhan Yang Maha Esa."

Dewi Sukesih merasa sedih dan air matanya tidak henti mengalir. Di sisi lain, sang Begawan tetap diam, tanpa sepatah kata pun yang mengungkapkan permohonan ampun dosa. Tidak ada kata-kata yang menunjukkan rasa penyesalan atau penyesalan dari sang Begawan.

"Wahai kekasihku," ujar sang Begawan dengan suara serak dan kering, "Kamu masih beruntung, kesedihan dan penyesalanmu masih dapat diwakili oleh air matamu yang terus mengalir. Tetapi aku tidak lagi mampu mewakili rasa sakit dari rasa bersalah ini."

Meskipun tidak ada kata-kata atau air mata yang meluap dari sang Begawan, ternyata rasa penyesalannya jauh lebih mendalam. Karena dia adalah seorang pendeta, seorang hamba Allah, seorang ulama yang sangat mendalam, seorang resi, dan seorang imam yang sangat suci.

Rasa penyesalan tidak dapat lagi diwakili oleh alat apa pun, bahkan dalam bentuk tangisan sekalipun. Maka sang Begawan berkata, "Kekasihku, tangislah sebanyak yang kamu mau, tetapi itu tidak akan menghapus noda-noda kita. Darah yang terdapat pada pakaianmu akan membuat setiap manusia yang akan lahir ke dunia ini terjebak, terkurung dalam kerinduan malam pertama pengantin. Biarkanlah kita menjadi korban nafsu serakah kita sendiri. Biarkanlah kita menjadi tumbal dari nafsu yang lebih besar dari apapun. Biarkanlah kita menanggung dosa dari semua yang akan dilahirkan ke dunia ini," sang Begawan terdiam sejenak, lalu ia berkata,

"Wahai kekasihku, sperma yang keluar dari kelaminku telah memasuki alam kewanitaanmu. Biarkan sperma itu menjadi ciptaan baru dalam rahimmu, menjadi makhluk baru yang memiliki kebebasan. Apapun janin yang terbentuk. Kita serahkan pada nafsu yang kita ukir bersama. Biarkan nafsu itu membangunkan bayi yang ada di dalam rahimmu. Wahai kekasihku, kita harus siap mencintai, merawat, dan mendidik bayi-bayi yang akan dilahirkan. Anakmu adalah anakku, seharusnya cucuku, tetapi anakmu adalah anakku. Tidak peduli sifatnya, kita tidak boleh mengurangi cinta kita kepada mereka, kita akan mendidik mereka dengan pengorbanan tanpa menuntut balasan. Meskipun kita mendidik mereka sebaik mungkin, karena mereka lahir dari dosa kita, kita tidak mampu membuat mereka menjadi anak yang baik yang mendapat ridha dari Tuhan. Biarkan mereka tumbuh dengan sifat-sifat mereka, dengan semua kesalahan mereka. Biarkan anak kita berkembang sesuai kehendaknya, selama kita menyimpan kasih sayang yang tulus untuk mereka. Dengan perlindungan dan pendidikan yang sepenuh hati. Apakah mereka baik atau tidak, bukanlah tugas kita lagi. Itu tergantung pada kebijaksanaan Sang Hyang Widhi yang menciptakan kita. Kita tidak mampu berdoa untuk itu, karena doa itu sendiri telah mengutuk kita sejak tindakan nafsu yang akan terukir sampai akhir dunia."

Maka mereka merasa malu untuk menghadapi orang-orang yang mereka cintai. Sang Begawan harus meminta maaf dan mencium kaki sahabatnya sendiri, Prabu Sumali. Dia juga harus meminta maaf pada putranya sendiri, Prabu Danareja, yang menjadi raja Lokapala.

Sementara itu, di Alengka, dalam istana megahnya, Prabu Sumali merasakan kerinduannya yang mendalam pada putrinya. Kerinduan yang membuat Prabu Sumali gelisah, seiring dengan Betari Uma memasuki alam keintiman Dewi Sukesih.

"Wahai Dewa, mengapa putriku yang kukasihi belum pulang hingga saat ini? Rakyat menantikan kedatangan putriku dengan hadiah-hadiah dari Sastra Jendra Hayuningrat. Meskipun darah para raja tidak lagi mengalir di tanah Alengka ini, kerinduanku pada putriku seperti genangan darah yang tak dapat bergerak. Mengapa aku merasa cemas dan gelisah, wahai Maha Agung Dewa? Aku sangat merindukan putriku dengan segala kegelisahan ini. Jangan biarkan kegelisahanku sebagai seorang ayah menjadi kenyataan, wahai Dewa Agung."

Demikianlah Prabu Sumali mengungkapkan perasaannya yang penuh kegelisahan. Di puncak kekhawatiran Prabu Sumali yang penuh harap-harap cemas menunggu kedatangan putrinya yang tercinta, Dewi Sukesih tiba dengan menangis sambil berlutut di kaki ayahnya.

"Wahai Ayahanda, aku telah menciptakan malapetaka dan kini aku terperangkap di dalamnya, semuanya karena keinginan dan keyakinanku sendiri."

Prabu Sumali sangat terkejut, "Apa yang terjadi, wahai anakku?"

"Aku telah menciptakan malapetaka, ayah. Malapetaka yang menghancurkan segalanya yang kumiliki. Sekarang anakmu tidak memiliki apa pun kecuali noda dosa dan beban hawa nafsu yang besar yang mengendap di dalam jiwaku, wahai Ayahanda," kata Dewi Sukesih di antara tangisnya.

"Ajari aku tentang bencana itu, wahai Puteriku," kata sang ayah, Prabu Sumali. Namun Dewi Sukesih tetap diam...terbungkam. Air matanya tetap mengalir dalam keheningan, tetapi air mata darah terus menetes, mengalir. Ruangan-ruangan megah di istana raja yang dihiasi dengan indahnya permadani, dihujani oleh air mata darah sang Dewi. Alam menjadi sunyi. Dunia terdiam. Rakyat tidur dalam ketenangan. Bulan redup. Matahari redup. Kehidupan terhenti.

Yang tersisa hanya rasa cemas dan kesepian yang merasuk dalam jiwa Prabu Sumali, menimbulkan goncangan dahsyat dalam dadanya.

Terjadilah kehendak ilahi, dan ironisnya, kesunyian yang menyelimuti malah mengungkapkan kisah putri dan sahabat mereka sendiri. Peristiwa yang melibatkan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih sekali lagi "berulang", kali ini melibatkan sang raja. Kisah dua pasang lelaki dan wanita ini berulang dari awal hingga terjadinya bencana. Alam sendiri mengulangi peristiwa tersebut, yang dirasakan langsung oleh Prabu Sumali.

Setelah perulangan peristiwa itu, Prabu Sumali sujud di hadapan Sang Dewa Agung, Sang Hyang Widhi.

"Wahai Hyang Maha Agung, Dewa, Batara, apakah ini merupakan permainan manusia semata, ataukah Engkau terlibat dalam menghidupkan api birahi yang ada dalam diri kami? Aku tidak bisa percaya bahwa sahabatku, yang begitu suci, bermoral mulia, beribadah tulus, dan telah meninggalkan kekayaan dan kekuasaannya, bisa tergoda oleh peristiwa ini. Aku tidak percaya! Pasti... ada campur tangan-Mu, wahai Dewa Agung di Nirwana."

Demikianlah Prabu Sumali berbicara ketika sujudnya selesai. Setelah berdiri, sang Prabu mengangkat sahabatnya, Resi Wisrawa, dan memeluknya.

"Wahai sahabatku, jangan menyesali semua ini, karena kita semua berasal dari kekurangan. Jangan terlalu berharap untuk mencapai kesucian sejati seperti para Dewa. Biarkanlah kesucian menjadi kebanggaan mereka di Kahyangan." Sang Prabu semakin erat memeluk sahabatnya.

"Jangan menyesal, aku tidak hanya memaafkanmu. Tetapi cintaku sebagai sahabat semakin sempurna untuk mencintaimu, begitu juga dengan cintaku pada putriku. Putriku adalah korban dari harapannya sendiri. Biarkanlah para bidadari mengutuknya, tetapi aku yakin suatu hari nanti putriku akan melampaui kebesaran mereka di Kahyangan. Wahai putriku, bangunlah, peluklah aku, jangan merasa malu."

Sang Dewi memeluk ayahnya dan bersandar di dadanya. Perasaan tenteram tumbuh, sehangat bayi yang terlindungi dalam pelukan ayahnya. Dewi tenggelam dalam kehangatan cinta seorang ayah.

"Wahai putriku, tak peduli siapapun engkau dengan dosa-dosamu yang besar, cintaku tidak pernah berubah. Cintaku semakin tinggi karena aku tahu engkau mencintai rakyat, dan aku tahu engkau mencintai orang tuamu melebihi saudara-saudaramu, bahkan melebihi cintanya rakyat kepadaku sebagai raja di masa lalu. Aku pun sanggup meninggalkan kekuasaan, tahta, dan harta, serta ibumu. Itu semua karena dorongan cintamu yang luhur untuk meninggalkan istana dan mencari kesucian di pertapaan. Itu adalah jasa yang engkau berikan, anakku. Dan itulah yang akan menyelamatkanmu dan mengatasi keagungan para bidadari di Kahyangan. Tersenyumlah, putriku..." Sang Prabu mengangkat wajah Dewi Sukesih, "Tersenyumlah..." dan Dewi pun tersenyum.
Melanjutkanlah perjalananmu bersama suamimu. Dan engkau, wahai sahabatku, bertanggung jawablah bahwa dia adalah istrimu. Meskipun takdir dan dewa tidak meresmikan pernikahanmu, tetapi aku akan meresmikannya sebagai sahabatmu. Wahai Begawan dan wahai Puteriku, akan kugabungkan kalian dengan cinta yang agung, yang pernah kau berikan padaku, itulah mahar."

Tak lama kemudian, Prabu Sumali memberikan restu kepada keduanya untuk melanjutkan perjalanan.
"Berkatilah hidup ini. Jadilah pembawa darah-darah baru yang akan mengalir di tanah ini. Wahai puteriku, tampunglah darah-darah wanita itu, untuk membuktikan dirimu kepada para dewa. Bukti bahwa engkau memiliki keagungan yang melampaui bidadari-bidadari, bahkan melebihi dewa-dewa itu sendiri. Berangkatlah, taklukkan dunia ini dengan darah yang kau tampung, jangan sekali-kali mencoba menaklukkan dengan kesucian yang terdapat dalam Sastra Jendra," kata Sang Prabu, mengakhiri pesannya.

Setelah berpamitan, keduanya melanjutkan perjalanan mereka.

Di kerajaan Lokapala, Raja Prabu Danareja duduk dengan mata terpaku, dalam lamunan yang mendalam. Makanan yang telah disiapkan oleh ibunya tidak tersentuh. Hari demi hari berlalu, hingga bulan berpuasa tiba.

"Wahai anakku," kata sang Ibu, "mengapa engkau membiarkan dirimu menderita dalam puasa ini?"

"Ibu, kerinduanku pada kekasihku, Dewi Sukesih, sangat besar. Kapan Ayah dan Dewi Sukesih akan kembali? Kerinduanku pada Dewi Sukesih membuatku kehilangan selera makan. Tidak ada kenikmatan dunia yang mampu menandingi rinduku terhadap kekasihku, Dewi Sukesih."

"Wahai anakku, Ayahmu pasti berhasil membawa Dewi Sukesih pulang. Dan sebagai ibumu, aku telah menyaksikan kesetiaan dan janji yang benar dari Ayahmu. Sebagai seorang wanita, sebagai seorang istri, aku merasa puas. Sebagai seorang ibu dari anak-anak kita, Ayahmu telah membawaku ke puncak kenikmatan yang tinggi dalam hidup seorang wanita. Apalagi engkau sebagai anaknya, pasti akan diangkat ke tempat yang lebih mulia."

Namun, keduanya terkejut ketika ada yang datang. Ternyata itu adalah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih.

"Mengapa Ayah terlihat begitu murung?" kata Prabu Danareja, "Di mana keperkasaan Ayah?"

 "Wahai anakku, aku telah merampas cinta, merampas cinta yang seharusnya menjadi milikmu. Cintamu kepada Dewi Sukesih telah kuberikan kepada diriku sendiri. Sekarang, kekasihmu adalah ibu tirimu," Begawan Wisrawa sujud di hadapan anaknya.

Anak itu tak mampu bicara, dia terdiam tanpa kata-kata, kehilangan segala perasaan di dalam jiwanya. Dia telah menjadi patung yang tak bernyawa. Dia tak bisa menyalahkan ayahnya atau menyalahkan Dewi Sukesih, karena jiwanya telah menjadi batu tanpa perasaan.

"Wahai anakku, Danareja, ampunilah ayahmu ini. Ayahmu gagal memenuhi keinginanmu. Namun biarkanlah segala apa yang telah aku capai sebagai manusia dalam perjalanan hidupku, dalam pengorbananku meninggalkan tahta dan kekayaan. Jika Hyang Widhi memberikan nilai-nilai kepadaku, biarkanlah aku memberikan semua itu kepadamu, wahai anakku. Biarkanlah kebesaran di hadapan Tuhan menjadi milikmu, wahai anakku. Di antara dosa-dosaku, aku merasa lebih mencintaimu. Engkau adalah anugerah yang lahir dengan kesucian jiwaku. Namun harapanmu hancur oleh rasa cinta seorang ayah yang berusaha menyelamatkan anaknya."

Kemudian, Begawan tersebut merendahkan diri di hadapan istrinya.
"Maafkanlah aku, wahai isteriku."

"Wahai suamiku," kata sang istri, "Tidak ada yang harus engkau minta maaf. Cintaku yang suci tetap ada, meski rinduku sebagai seorang wanita terbangkitkan. Dan aku merasa tenang dengan cinta itu karena engkau, wahai suamiku, sedang dalam perjalanan spiritual Sastra Jendra Hayuningrat. Namun kali ini cintaku diuji. Ini berarti aku tak perlu lagi merindukanmu. Jika aku memaksakan rindu pada suamiku, maka aku harus menghadapi cemburu, karena engkau telah memiliki istri yang baru. Biarkanlah cinta ini kugenggam. Jika aku merindukanmu, itu adalah kerinduan dari kenangan masa lalu kita. Biarkanlah cinta ini kusajikan sebagai penghormatan kepada Sang Hyang Wenang. Maka tidak ada ampunan dariku. Pergilah, aku pun seharusnya seperti Dewi Sukesih, namun aku lebih beruntung karena aku telah diutus oleh takdir yang mulia."

Dewi Sukesih dibawa oleh kesombongannya yang membuatnya merasa mampu melampaui Sastra Jendra Hayuningrat.

Maka keduanya melangkah satu demi satu di atas bumi ini. Hingga suatu saat, datanglah suara atau wahyu dari Kahyangan. 

Batara Narada menyampaikan wahyu Sabdo Palon kepada mereka berdua:
"Wahai anak-anakku, janganlah meratapi nasibmu, apakah kalian lupa, wahai anakku? Kesengsaraan adalah bagian dari kehidupan setiap penduduk bumi. Hidup itu sendiri adalah penuh dengan penderitaan. Wahai anak-anakku! Dunia ini adalah sarana penderitaan, dan kalian harus menerima penderitaan dengan baik. Jangan melawan penderitaan. Jika kalian ingin mendapatkan pengakuan dan keberkahan dari Sang Hyang Wenang, terimalah penderitaan sebagai wujud kesadaran dalam kehidupan di dunia ini. Karena di dalam penderitaan tersembunyi rahasia kebahagiaan, kebahagiaan bagi mereka yang berada di dunia ini, tersembunyi di balik penderitaan. Jangan melawan, tapi jadilah dekat, sehingga penderitaan akan memberikan permata kebahagiaan kepadamu," Sabda Batara Narada.
[Dalam GGM, "Setiap peristiwa yang menimpa seseorang adalah dialog antara Allah dan ciptaan-Nya."]

"Wahai anak-anakku, sebesar apa pun kedudukan manusia, ilmu pengetahuannya, ibadahnya, dan tindakannya, mereka tidak akan pernah menemukan jati diri sejati, karena semakin mereka mengejarnya, semakin menjauh. Jati diri hadir di tengah jauh, dan jauh di dalam dekat. Kalian harus pandai melihat di mana jati diri itu ada, tetapi jangan mencoba menggenggamnya. Jati diri bukanlah milik ciptaan, melainkan milik Sang Hyang Tunggal," begitulah Sabda Palon dari Batara Narada.

"Dan wahai anak-anakku, janganlah kalian lupakan bahwa kejahatan adalah bagian dari napas kehidupan manusia. Segala nilai suci dan benar tetap ada di dalam napas kejahatan. Karena dagingmu menghirup udara kejahatan, darahmu mengalir dengan udara kejahatan, dan pikiranmu menerima pengaruh air kejahatan. Dan jiwamu adalah samudra kejahatan," kata Batara Narada.

"Dharma yang mulia dan agung tetap harus terjaga dalam lautan kejahatan. Itulah sebabnya, wahai anak-anakku, janganlah melawan kejahatan. Ajukan dirimu bersama kejahatan, tetapi jika kejahatan akan menghancurkanmu, tahanlah kejahatan itu. Biarkan kejahatan menjadi milik hawa nafsumu, bukan milik anak-anakku. Kalian adalah milik kebenaran. Pisahkan kepemilikan antara kejahatan dan kebenaran tanpa harus melawan kejahatan. Jika kalian mencoba melawan kejahatan, kalian akan dimakan oleh kejahatan itu sendiri. Demikianlah, wahai anak-anakku, berdasarkan Sabda Palon Hing Puri Agung Hayuningrat yang bersemayam di Puncak Tahta Kerajaan Arya Loka di Parahyangan."

Tahta Parahyangan menyimpan takhta Kahyangan, di dalamnya terdapat Sabda Palon yang dapat diumumkan oleh Batara Narada, Dewa nilai-nilai, Dewa kesucian, dan Dewa kebijaksanaan.

"Wahai anak-anakku, penderitaan bersatu dengan kejahatan. Maka hukum dunia, hukum bumi, adalah anak yang lahir dari perpaduan kejahatan dan penderitaan. Terimalah hukum dunia ini sebagai hasil dari percampuran kejahatan dan penderitaan, dan terimalah dengan baik hukum-hukum yang lahir dari keduanya. Karena daging dan darah sangat erat terkait dengan hukum bumi yang lahir dari bayi-bayi hasil perpaduan kejahatan dan penderitaan. Itulah Sabda Palon, wahai anak-anakku."

"Karena asal-usul hukum dunia terletak pada faktor-faktor tersebut, tak peduli ke mana manusia pergi dalam mencari jati diri, apalagi mencari Sang Pencipta, kesombongan tetap menjadi karakter dominan dalam diri manusia. Bahkan jika memiliki keberadaan batin yang tersembunyi, kesombongan masih menjadi perahu besar yang mengarungi lautan kehidupan dunia. Terimalah semuanya sebagai takdir, wahai anak-anakku. Itulah Sabda Palon."

"Wahai anak-anakku, Sastra Jendra bukanlah perwujudan kesucian yang luhur, bukanlah hasil dari pemurnian yang tinggi, bukanlah hasil dari pengetahuan yang sangat maju. Namun, ia adalah seruan kekuatan batin yang tersembunyi, karena kekuatan batin, meski kalah oleh kekuasaan kejahatan, tetap mampu menyampaikan suaranya hingga ke Nirwana. Hingga ke puncak Nirwana, Tahta Parahyangan. Karena hanya batin yang mampu mengetuk pintu Tahta Kahyangan."

"Anakku, dalam 'diri yang jahat', dalam 'diri yang malang', simpanlah bisikan lembut dari batin. Meskipun kecil, ia mampu menggetarkan Tahta Parahyangan. Agar bumi menjadi subur oleh Parahyangan. Dan janji Sang Hyang Maha Tunggal, suatu saat bumi ini akan menjadi Parahyangan, maka Sang Hyang Wenang, Hing Murbeng Agung, akan tersenyum dan melupakan kemarahannya terhadap penduduk bumi ini. Jadikanlah, wahai anakku, keturunanmu sebagai pembawa Amanat Tahta Parahyangan. Itulah Sabda Palon, wahai anakku."

"Dan mengapa engkau diuji oleh gelombang nafsu yang kuat sehingga engkau menjadi suami dan istri? Itu adalah kekuatan yang tak mampu lagi kau bendung. Terimalah darah-darah yang mengalir dari setiap rahim yang akan lahir ke dunia, karena dengan demikian engkau telah memberikan kekuatan lebih kokoh pada kemalangan dan kejahatan di dunia ini, hingga Sang Hyang Widhi bosan dengan kekuasaan kemalangan dan kejahatan di dunia ini. Rasa bosan Sang Hyang Widhi akan membangkitkan 'kerinduan' Sang Hyang Widhi untuk turun langsung ke bumi yang hina. Itulah janji-Nya, untuk membangun Parahyangan. Wahai anakku, itulah Sabda Palon."

"Maka kemalangan manusia dengan noda dosa tak lagi perlu diperdebatkan. Karena Sang Hyang Widhi Maha Agung akan turun ke muka bumi, didampingi oleh adikku Batara Guru."

"Batara Guru menjadi kendaraan yang indah bagi Sang Hyang Wenang Hing Maha Agung, untuk menyucikan segala darah yang telah kau tampung, yang telah kau simpan, agar Parahyangan menjadi kenyataan. Parahyangan hanya dapat dibentuk, dipersiapkan oleh adikku Batara Guru, dan disempurnakan oleh kerinduan Sang Maha Agung untuk menjadikan Parahyangan sebagai bagian dari jagad Kahyangan. Meskipun sesaat, senyuman Hing Murbeng Agung menyapu, memuliakan, dan mensucikan yang suci. Dan Pangruwating Diyu tak ada lagi. Karena Pangruwating Diyu telah menjadi Kendaraan kejahatan dan kemalangan, untuk kembali ke pusat yang sangat rahasia."

"Yang ada adalah Batara Guru yang menjelma menjadi Satria Lelanang Jagad. Dialah yang kelak di bumi akan memancarkan 'Naya Genggong'. Naya Genggong akan dipancarkan oleh keagungan Lelanang ing Jagad dari Sang Hyang Jagad Nata, Prabu Siliwangi Kahyangan, terlepas dan muncul di hadapan dunia. Di bumi yang ditentukan dalam tugasnya adalah memancarkan Naya Genggong."

"Naya Genggong, anakku, adalah Gemah Ripah Loh Jinawi. Hanya Prabu Jagad Nata, Panata Jagad, Panata Negara, Panata Manungsa, yaitu adikku sendiri [Batara Guru], yang mampu melakukan hal tersebut. Karena ia menjadi 'wujud' dari Hyang Widhi."

"Adikku bukan lagi sebagai Dewa, melainkan menjelma menjadi manusia yang berdarah dan berdaging. Ilmu telah lenyap! Karena budi menjelma. Budi dan jati diri bukan lagi rahasia, melainkan menjelma menjadi darah dan daging dari adikku sendiri, untuk memancarkan Naya Genggong, Gemah Ripah Loh Jinawi."

"Wahai anakku, terimalah kemalangan dan kejahatan di dalam wadah keikhlasan, agar dengan cepat dan pasti mengundang kedatangan Adikku dan Sang Hyang Agung ke bumi. Dan darahmu, yang diambil dari darah umat Manusia. Semakin banyak penampungan tetes darah suci, semakin cepat memanggil Sang Hyang Batara Pengasih Sukma, Panata Gama, Panata Buana, Panata Cinta, Panata Asmara, Batara Panata Sakti untuk segera hadir."

"Wahai Dewa Narada," ujar Begawan Wisrawa, "Mengapa demikian? Mengapa Sang Hyang Murbeng Agung turun ke bumi ini? Betapa malu. Aku menjadi tercemar, dan noda ini harus didekati oleh Yang Maha Suci, Sumber Kesucian. Apakah itu mungkin terjadi? Betapa malu, aku."

"Wahai anakku, biarkan rasa malumu perlahan terkikis oleh senyuman dari Batara Hing Murbeng Asih. Dan Batara Hing Murbeng Asih sejak lama ingin turun ke dunia ini, hanya saja Batara Narada masih malu untuk mengajak Sang Hyang Widhi datang ke bumi ini. Karena genangan darah belum lengkap mengisi cawan kehidupan dunia ini."

Batara Narada (SAW), Batara Guru (Al Mahdi)

Sastra

merupakan pengalaman hidup dalam segala aspeknya; memberi kehidupan; menerangi segala yang hidup. (Hirup dina kahuripan; Ngahuripkeun sagala kahuripan; Hirup kahirupan; Ngahuripan hirup)

Jendra

adalah perjalanan kehidupan yang memberi kehidupan, menuju hakikat kehidupan yang penuh kehidupan; melintasi puncak kehidupan tanpa batas makna hidup.

Hayuning

kebijaksanaan yang luar biasa; Gelombang dari Karim dan Halim-Nya Allah swt.

Kencana Rukmi

Alat (cahaya) untuk mengarungi Cahaya Allah swt, (Ihdinas shirathal mustaqim). Ketenangan; kedamaian; tanpa keinginan untuk menang atau dikalahkan. Jika kita mampu menjadikan Nurani sebagai Perahu kehidupan kita, maka sebening apapun gemerlapnya kehidupan dunia dengan segala daya tariknya, tidak akan mengelabui kita, meskipun kita menghadapi tantangan, kita telah memiliki kepastian hidup, (Ihdinash shirothol mustaqim).

Lahirnya: Rahwana, Sarpa Kenaka, dan Kumbakarna

Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih mengunjungi istri dan anak mereka di kerajaan Lokapala, mereka kembali ke Alengka karena hanya di Alengka (Prabu Sumali) yang bisa menerima kedua orang tersebut.

Pada suatu malam yang gelap dan menegangkan, udara terasa seakan tidak bergerak. Gempa bumi terjadi dan gunung-gunung meletus. Pada saat itu, perut Dewi Sukesih terasa seolah-olah ingin meletus.

"Oh Kakanda, perutku terasa sangat sakit. Oh Kakanda, perutku sangat tidak nyaman," kata Sang Dewi.

Meskipun perutnya tidak terlihat membesar, tetapi ia merasakan adanya gerakan makhluk di dalam perutnya. Selama masa kehamilannya, perut Dewi tersebut tidak mengalami perubahan dan tetap ramping seperti sebelumnya. Namun, pertumbuhan janin di dalamnya begitu cepat. Maka malam itu, Sang Dewi merasakan kesakitan yang hebat karena sakit perutnya.

"Oh Dindaku, anak-anak kita, bayi-bayi yang ada di dalam rahimmu sudah siap untuk keluar. Mengapa engkau membatasi mereka yang ingin dilahirkan? Mengapa engkau memenjarakan mereka di dalam perutmu? Mereka memiliki hak hidup untuk lahir ke dunia. Biarkan mereka masuk ke dunia yang bebas ini, jauh dari pembatasan perutmu yang sempit. Mereka lelah dan bosan hidup dalam keterbatasan perutmu," ucap Begawan Wisrawa.

"Oh Kakandaku, aku merasa malu. Malu pada pohon-pohon, daun-daun, dan gunung-gunung. Bukankah semua air, tanah, dan pepohonan akan mengejek kita? Bukankah bayi ini adalah hasil dari nafsu kita yang bersama-sama kita ciptakan? Oh Kakandaku, bukankah bayi ini adalah hasil dari cinta kita? Cinta yang tidak mendapatkan restu dari para dewa!" begitu Sang Dewi berkata.

"Terimalah noda yang ada dalam bayi kita," kata Begawan Wisrawa, "Dan segala kejahatan yang mungkin dilakukan oleh anak-anak kita bukanlah kesadaran mereka. Itu hanyalah perpanjangan dari kesalahan kita, wahai isteriku. Jika kelak anak-anak kita terjebak dalam pesta syahwat, itu bukanlah mereka. Tetapi itu adalah perpanjangan dari kerinduan syahwat yang terpendam dalam diri kita. Terimalah semuanya sebagai 'pemberian' dari para dewa. Kesedihan ini, kesedihanku, kesedihanmu, obatnya adalah penghinaan dari alam ini, dari mereka, dari semua hal. Tanpa penghinaan, kita akan terus terbelenggu oleh rasa bersalah. Penghinaan, wahai Dindaku, membebaskan kita dari penjara noda, penjara rasa rendah, penjara rasa bersalah. Kita merasa malu memohon ampun kepada Tuhan, kita merasa malu memohon ampun kepada para dewa. Namun, kita juga harus terbebas dari rasa bersalah. Satu-satunya cara adalah menerima penghinaan. Penghinaan membebaskan kita dari penjara noda, penjara rasa rendah, penjara rasa bersalah, wahai Dindaku. Bernapaslah, terimalah penghinaan itu. Itu berarti bayi itu akan lahir ke dunia ini dengan selamat."

Maka, di ujung kepasrahan yang paling dalam, karena Dewi Sukesih telah mencapai puncak Sastra Jendra. Ia telah memperoleh makna kesabaran yang sempurna, makna kepasrahan yang suci. Dan di ujung kepasrahan yang total, bayi-bayi itu pun dilahirkan.

Namun, bukanlah bayi yang sempurna yang lahir. Yang keluar adalah gumpalan-gumpalan darah yang menggumpal. Kemudian, diikuti oleh kuku-kuku, mulai dari kuku kecil, kuku besar, kuku hewan, hingga kuku manusia. Lalu, lahir juga telinga, untaian telinga yang panjang.

Tidak lama setelah itu, kedua orang tua menyaksikannya. Darah-darah tersebut bertransformasi menjadi jantung, paru-paru, dan setiap organ tubuh lainnya, hingga akhirnya menjadi bayi yang sempurna. Selain itu, telinga dan kuping juga mengalami transformasi menjadi tiga bayi yang sempurna.

Bayi yang terbentuk dari gumpalan darah menjadi Rahwana,
Bayi yang terbentuk dari kuku menjadi seorang wanita bernama Sarpakenaka,
Bayi yang terbentuk dari kuping menjadi Kumbakarna.

Namun, setelah mereka berubah menjadi manusia, Sang Dewi enggan untuk memeluk mereka. Proses yang begitu cepat, dari gumpalan darah, kuku, dan telinga menjadi janin bayi, menimbulkan perasaan aneh yang mencampuradukkan kagum dan ketakutan.

"Wahai isteriku, kini engkau telah menjadi seorang ibu, dan aku menjadi ayah. Peluklah anak-anakmu, jangan biarkan mereka diam. Segeralah menyusui mereka sebelum mereka menangis. Jika bayi ini, anak ini, menangis atau menjerit sebelum engkau menyusui mereka, maka kebesaran cintamu sebagai seorang wanita tidak akan bisa mengalahkan dunia ini. Cepatlah mengalahkan dunia dengan air susumu, karena dunia dengan segala kebesarannya akan tunduk dan takut pada air susumu. Karena air susumu membawa energi cinta yang sempurna dari seorang ibu." Maka dengan cepat, Sang Dewi menyusui ketiganya satu per satu.

Setelah anak pertama, Rahwana, disusui, ia segera menangis dengan keras. Hal yang sama terjadi dengan yang lainnya. Namun, yang unik, ketika Rahwana menangis, muncullah sepuluh kepala, yaitu Dasamuka!

Sarpa Kenaka tiba-tiba tersenyum ketika menangis, dan tiba-tiba tubuhnya membesar! Dan dengan seketika, semuanya membesar! Bahkan ibunya sendiri lebih kecil daripada ketiga anaknya. Ia menjadi raksasa.

"Wahai isteriku," kata Sang Begawan, "Cintailah mereka. Mereka adalah 'diyu-diyu', raksasa-raksasa dari diri kita yang belum sempat diruwat. Mereka adalah wujud dari diyu-diyu yang ada dalam jiwa kita, yang belum sempat disucikan oleh Sang Hyang Widhi. Terimalah mereka, raksasa-raksasa ini, sebagai anak-anak kita yang kita cintai dan sayangi."

"Wahai Kakanda, bagaimana sifat mereka?" tanya Dewi Sukesih.

(Simak kembali ajaran yang ambigu "" bahwa motivasi pernikahan, gejolak perasaan/batin, dan tingkat keimanan saat berhubungan intim sangat berpengaruh pada karakter anak yang akan dilahirkan)

"Rahwana adalah hasil dari gumpalan darah yang kita kumpulkan, dengan kebanggaan ilmu Sastra Jendra dan kebanggaan akan kesaktian yang kita rasakan. Dan dengan kebanggaan ini, kita pasti akan mencapai Nirwana. Namun, kita terjatuh! Maka, semua dosa, segala darah dari umat kita kita kumpulkan bersama-sama. Rahwana adalah anak kita, perwujudan dari dosa-dosa kita yang sempurna, keinginan nafsu kita yang sempurna. Kita telah meminjam segala keinginan nafsu manusia, kita telah meminjam segala nafsu umat manusia ke dalam cawan-cawan kecil kita. Oleh karena itu, Rahwana, anak kita, adalah perwujudan kesempurnaan nafsu yang Tuhan ciptakan bagi umat manusia. Rahwana adalah sumber nafsu, sumber kejahatan, dan juga sumber penderitaan. Rahwana adalah anak dari kejahatan dan penderitaan, yang terikat oleh nafsu yang sangat kuat. Cintailah dia, wahai saudaraku. Anakku, anakmu memiliki hak untuk menjadi apapun. Yang penting adalah kita mengantar mereka dengan cinta dan kasih sayang, kita mendidik mereka dengan tanggung jawab. Hasilnya, kita serahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Yang terpenting adalah cinta kita dalam mendidik, cinta kita dalam mengantarkan mereka hingga dewasa. Dengan ini, penghinaan dari dosa-dosa kita akan berkurang. Rasa bersalah kita akan berkurang ketika kasih sayang dan cinta kita kepada anak-anak kita tidak pernah berkurang dan tetap utuh, meskipun mereka sering kali mengecewakan kita. Kini, mereka adalah milik Dewa, meskipun kita yang melahirkan mereka."

"Sedangkan putri kita, Sarpa Kenaka," lanjut sang Begawan, "adalah perwujudan dari kuku-kuku kita, wahai saudaraku. Engkau tergoda oleh gairah seksual. Kuku-kukumu mengusap tubuhmu sendiri di Telaga Nirmala, kuku-kukumu meraba-raba, mencakar tubuhmu sendiri. Karena desiran birahi begitu kuat, menguasai jiwamu dan pikiranmu, wahai Dewi Sukesih. Dan kuku-kukuku, saat aku menjadi kuda jantan, berlari-lari dalam birahi. Kuku-kuku kuda itu ada dalam kandunganmu. Sarpa Kenaka dilahirkan sebagai anak kita yang kita cintai. Sarpa Kenaka lahir dari desiran-desiran, goresan-goresan kuku, karena birahi yang begitu besar, yang merasuki jiwa kita. Dan gairah birahi ini sudah menghinggapi umat manusia hingga akhir zaman, wahai saudaraku. Putri kita adalah simbol dari semua kuku yang ada di muka bumi ini. Kelak, putri kita tidak akan mencari apa pun kecuali laki-laki! Tidak ada yang dicari kecuali kebanggaan dalam menguasai laki-laki."

"Cinta, tidak ada dalam diri putri kita yang wanita ini; yang ada hanyalah birahi. Dia tak pernah merasa puas memberikan tubuhnya kepada setiap lelaki, dan dia tak pernah puas hanya dengan menjadi pasangan, malah dia harus memperkosa setiap lelaki. Kejantanan setiap lelaki dari anak manusia bisa dikalahkan oleh birahi putri kita. Dan itu tidaklah cukup, kuku birahi lelaki tak boleh memiliki wanita, melainkan lelaki harus ditundukkan oleh syahwat. Walaupun putri kita memiliki wajah yang buruk, berbau, dan kotor, bahkan berukuran raksasa. Namun, saat gairah tumbuh pada lelaki, dia akan menjadi seindah dan lebih memikat daripada bidadari surga. Betapa mereka semua yang merasa menjadi pria, yang merasa menjadi lelaki, akan terpesona oleh kecantikan yang sempurna, kecantikan yang telah engkau wariskan pada putri kita, wahai Dewi Sukesih. Namun, saat engkau menjadi kuda betina di dunia ini, dunia aku menjadi kuda jantan yang mengerang dalam senggama yang sempurna. Kehidupan menjadi lebih luas, lebih besar dalam jiwa putri kita. Oleh karena itu, lelaki harus dibeli, bukan hanya pikiran dan jiwa mereka, melainkan segalanya akan dipersembahkan pada putri kita. Satu lelaki tak cukup, seribu lelaki pun takkan cukup. Bukan hanya pikiran dan jiwa mereka yang harus tunduk pada putri kita, tapi putri kita mampu membangkitkan gairah seksual dari setiap pria yang dibelinya. Jadilah putri kita, sumber sensual bagi setiap pria di dunia."

"Dan putra kita, Kumbakarna, lahir dari kuping dan telinga," lanjut sang Begawan, "Ketika kita berada di perbatasan Sela Menangkep, pintu ke Surga. Kita menyadari, kita merindukan Sang Pencipta Nirwana, meskipun kita tak merindukan kenikmatan Nirwana. Namun, kita menyadari bahwa kita sedang diuji. Rayuan engkau kepadaku dan tuntutan seksual dariku kepadamu, adalah ujian yang diberikan oleh Dewa. Bukankah dulu Kakang sudah mencoba membawamu ke bumi ini? Kala itu, telinga kita mendengar panggilan Sang Hyang Murbeng Asih dari puncak Nirwana. Karena saat itu, kita merasa kotor, belum siap untuk memasuki Nirwana. Jangan biarkan kita mendengar kesucian yang luar biasa dalam panggilan Ilahi, jika jiwaku masih kotor, tercela.

Maka, telinga-telinga yang lahir dari rahimmu menjadi putra Kumbakarna. Itu melambangkan kerinduan akan kesucian, kerinduan akan kebenaran, namun tanpa daya dalam dunia yang kotor. Kumbakarna adalah simbol bahwa manusia merindukan kesucian, merindukan 'dharma' yang sempurna, dan merindukan kesempurnaan dalam amal ibadah. Namun, manusia enggan melepaskan belenggu birahi, belenggu harapan, dan belenggu nafsu yang begitu kuat. Oleh karena itu, kerinduan ini, tentang suatu Dharma dan kesucian, hanya dapat terdengar dalam suara nurani manusia, bukan dalam pendengaran fisik manusia."

"Maka, Kumbakarna, wahai istriku, ketika dia tumbuh dewasa. Dia melihat kemarahan di sekitarnya, tetapi tak berdaya untuk memperbaikinya. Lebih suka tidur! Menghindari kemarahan. Tertidur dalam kedamaian, karena enggan terjerat oleh kemarahan, namun tak berhasil mengubah kemarahan itu. Maka anak kita seperti gunung yang diam, terlelap dalam kesunyian. Dia mengetahui segala hal di dunia ini, namun tak berdaya untuk mengubahnya. Dia berhasil untuk tidak tergoda oleh hasrat birahi, tetapi dia tidak melawannya, membiarkan hasrat birahi itu memenuhi tidurnya. Hasratnya tak dinyatakan dalam hubungan manusiawi, tak terungkap dalam ikatan suami-istri, dalam interaksi antara pria dan wanita. Namun, hasratnya dibawa ke dalam tidur dan muncul dalam ilusi yang hebat. Dalam tidurnya, dia bersenggama; dalam tidurnya, dia berlebihan. Dalam tidurnya, dia merasakan kedamaian. Meskipun tertidur, nafsunya tetap utuh dalam jiwanya. Itulah manusia yang akan dilahirkan, seperti anak kita, Kumbakarna," Begawan Wisrawa menjelaskan.

"Wahai suamiku, betapa kasihan anak-anak kita ini, betapa kasihan hidup mereka. Sebagai ibu yang melahirkan, ini terlalu berat bagiku untuk menerima kenyataan ini."

Sang Begawan mengangkat kedua tangannya ke langit, "Wahai Maha Dewa, aku bersyukur bahwa istriku menunjukkan kekuatan cintanya, di tengah cinta muncul tanggung jawabnya. Wahai Maha Dewa, bukankah cinta tak berarti tanpa tanggung jawab? Bukankah cinta tak memiliki makna tanpa tanggung jawab? Dan, bukankah cinta tak seharusnya ada tanpa tanggung jawab? Tanggung jawab adalah buah dari cinta, namun cinta itu sendiri lahir dari tanggung jawab. Betapa Engkau telah memberikan istriku perasaan, untuk menghasilkan cinta. Wahai Dewa, istriku telah menunjukkan ketundukan dengan tanggung jawab."

"Wahai istriku, engkau kembali suci, seperti ketika engkau mencapai puncak Sastra Jendra Hayuningrat. Bawalah kesucianmu yang pasti akan masuk Nirwana, dengan jaminan dari Dewa. Bawalah cinta, bawalah kesucian, dan bawalah tanggung jawab dalam menyaksikan bagaimana anak-anak kita merusak dunia ini," kata sang Begawan.

"Bagaimana menurutmu, jika para Dewa mengubah apa yang telah kita lihat tentang anak-anak kita. Bisakah hal itu terjadi?" tanya Sang Dewi.

"Adapun, 'titis tulis', Hing Dumadi," jawab Sang Begawan, "Kita menciptakan tulisan, kita menyiapkan daun lontar. Kita menulis dengan penuh cinta, syahwat, ilmu, dan kesucian, pada daun lontar tersebut. Maka para Dewa mengembuskan daun lontar itu jatuh ke permukaan bumi ini. Sesungguhnya, hukum dunia yang terkait dengan kejahatan dan penderitaan itu terekam di daun lontar yang telah kita tulis bersama, juga tertulis di Nirwana. Permata-permata indah yang mempercantik Nirwana, yang menerangi negeri Nirwana, yang menerangi dunia para Dewa, kini mulai pudar. Hal ini disebabkan oleh kita yang telah mencemari dengan air kehidupan dunia pada permata cahaya di dinding perhiasan Nirwana. Sehingga cahaya kehidupan permata berkurang oleh percikan air yang kita siramkan ke Nirwana."

"Oh, Kakanda. Kapan hal itu terjadi? Bukankah kita tak pernah memasuki Nirwana? Kita telah dihalangi oleh para Dewa?"

"Lupa kah, wahai Dindaku? Ternyata perbuatan kita dalam menjalin hubungan suami istri dan mengadakan pesta syahwat adalah kehendak Dewa? Dan ketika Batara Guru menghampiri kita untuk bersenggama, sang Dewa meninggalkan jagad jiwa kita, kembali ke Nirwana membawa air kehidupan dunia dari tubuh kita, dari darah kita, dari daging kita. Batara Guru tak mampu menahan air kehidupan dunia, sehingga air itu berpercikan pada permata cahaya di dinding Nirwana. Dan Batara Guru hanya melaksanakan tugas dan perintah dari kebenaran Nirwana. Kita yang membawa air tersebut ke Puncak Sastra Jendra. Air dunia yang tercemar, kita membawanya ke puncak Hayuningrat yang belum saatnya. Wahai Dindaku, anak-anak kita sudah memasuki alam Takdir. Mereka telah terperangkap di Alam Samsara. Walaupun mereka jahat, mereka harus menerima penderitaan. Samsara!"

"Anak kita Rahwana, menjadi raja yang memiliki kekuasaan untuk mendapatkan segala yang diinginkannya. Namun, apa yang diperolehnya tidak membawa kebahagiaan baginya. Justru alam Samsara, alam penderitaan, lebih menderita daripada kita sendiri, wahai istriku."

"Sarpa Kenaka, kecantikannya mampu membeli ribuan lelaki, menikmati hubungan seksual, dan berpesta pora dalam nafsu birahi. Ribuan lelaki yang tampan dengan mudah diperolehnya. Kekuatan kejantanan lelaki dapat diperolehnya dengan mudah, tetapi puteri kita tidak pernah, tidak dapat menikmatinya, karena puteri kita terperangkap dalam jagad Samsara, yang lebih menderita daripada kita sendiri."

"Anak kita Kumbakarna, dalam tidurnya menikmati kehidupan ilusi, kenikmatan seksual, dan pesta bergairah. Namun, Kumbakarna anak kita tidak menikmatinya dalam realitas yang nyata, melainkan dalam dunia ilusi. Dalam tidurnya, dia terperangkap dalam jagad Samsara, dunia penderitaan yang melebihi penderitaan kita sendiri, wahai istriku."

"Oleh karena itu, mereka telah terperangkap dalam jagad Takdir, kehendak Hyang Widhi. Karena kita telah mencemari dunia ini dengan air noda dan menodai dinding Permata Cahaya di Nirwana."

"Bagaimana, wahai suamiku, dalam menghadapi cinta anak-anak kita? Jika suatu saat tiba, sebagai ibu, saya harus menyaksikan penderitaan mereka, masihkah kita tetap diam?" tanya Dewi Sukesih pada suaminya.

"Wahai istriku, segala upaya dan perjuangan yang kita lakukan untuk memperbaiki keadaan anak-anak kita tidak akan mampu membuat mereka menjadi lebih baik. Kita harus menerima penderitaan yang mereka alami, karena penderitaan itu juga kita yang menciptakannya."

"Apakah kita dapat menyelamatkan mereka, wahai suamiku?"

Hati seorang ibu, Dewi Sukesih, tetap mempertahankan harapan yang terbaik untuk anak-anaknya.

"Oh, Dindaku, saat kita bersama-sama mengejar Sastra Jendra Hayuningrat, kita pun tidak mampu menyelamatkan diri kita sendiri dari godaan nafsu. Bagaimana mungkin kita dapat menyelamatkan anak-anak kita? Kita sendiri tidak mampu menyelamatkan diri kita sendiri! Marilah kita terima azab mereka sebagai 'cermin' bahwa kita telah menciptakan tulisan dan gambaran dalam cermin kehidupan ini. Dan semua manusia turut serta, menjadi bagian dari penderitaan anak-anak kita, sampai saat keputusan Hyang Widhi, keputusan Allah bersama Batara Guru dan Batara Narada, turun ke bumi ini untuk membebaskan Kumbakarna-Kumbakarna yang dilahirkan. Ribuan Kumbakarna akan lahir, jutaan Sarpa Kenaka akan lahir, dan jutaan Rahwana akan lahir. Hanya Hyang Maha Asih yang mampu membebaskan mereka dari belenggu noda."

"Satu-satunya, wahai Dindaku, segala sisa kehidupan ini kita persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta Nirwana, Sang Pencipta kita. Kita serahkan segalanya untuk Hing Maha Murbeng, Allah SWT."

"Dalam dunia jagad jiwa kita, kita membaginya menjadi dua. Jagad yang mencintai anak-anak kita dan jagad yang kita persembahkan kepada Hing Murbeng Agung, Allah SWT."

"Realisasi Pangruwating Diyu dan Kisah "Cupu Manik Astagina"

Ternyata ada dendam yang terpendam pada Begawan Wisrawa, yang berasal dari pamanda Dewi Sukesih, yaitu Arya Jambumangli, seorang yang amat sakti. Ketika para raja datang melamar Dewi Sukesih, mereka semua dibunuh oleh Arya Jambumangli. Namun setelah mengetahui bahwa keponakannya akan dinikahkan dengan seorang resi, kemarahan pun memuncak. Ia mendatangi Begawan Wisrawa dengan penuh amarah.

"Wahai Begawan, tak terpikirkan olehku bahwa kesucianmu sebagai pembawa Wedha, pembawa kebenaran, dan pembawa kesucian, ternyata hanya serigala berbalut kedamaian dan kesucian. Wahai Begawan! Ternyata kependetaanmu hanyalah sandiwara belaka. Padahal, aku lama menghormatimu, menjaga kehormatan itu di dalam hatiku. Namun sekarang penghormatan itu hancur dalam jiwaku! Ternyata penghormatan yang kuberikan sebagai seorang Resi tak berarti! Dan engkau tidak merasa malu telah menghancurkan puteri kakandaku, mencuri cinta anakmu sendiri! Engkau menodai dirimu sendiri di depan rakyat Alengka, menghitamkan segala kesucianmu di hadapan rakyat Lokapala. Karena itu, aku memiliki ilmu yang belum pernah kutunjukkan sebelumnya. Seribu Ksatria akan mati, hancur oleh ilmuku ini. Aku tidak takut! Sekalipun engkau memiliki kekuatan luar biasa, wahai Resi."

Ternyata segala cacian dan hinaan ini diterima oleh Begawan Wisrawa sebagai 'kenikmatan'. Sang Begawan merendahkan diri dan bahkan bersujud di hadapan Arya Jambumangli. Sang Arya yang sedang marah memanah sang Resi dengan panah yang penuh kekuatan. Berbagai macam panah menusuk tubuh sang Resi. Ratusan pusaka ditusukkan ke dalam tubuh sang Resi, namun sang Resi diam tanpa melawan. Semua ini dianggap sebagai qishash (karma), hukuman dunia atas noda yang ia ciptakan.

Dalam hatinya, sang Begawan berkata, "Terima kasih wahai Dewa, Engkau telah menjadikan pengadilan di Nirwana, di dunia ini. Engkau memberikan prioritas kepada pengadilan di Nirwana, di dunia ini. Bagi saya, ini adalah sebuah kehormatan yang sangat besar, wahai Sang Dewa. Ternyata Engkau masih menghormati diriku yang ternoda. Engkau tidak ingin menghakimi aku di Nirwana, melainkan menghakimi aku di dunia ini. Betapa Engkau dan para Dewa menghormatiku. Biarkanlah siksaan ini membawa noda-noda dosa yang ada dalam jiwa dan pikiranku, wahai Dewa-Dewa."

Dan ternyata, setiap senjata yang menusuk tubuhnya tidak mengeluarkan sejumput darah pun. Semakin disiksa oleh Jambumangli, semakin ikhlas sang Resi, semakin ia merasakan 'kenikmatan', dan semakin tinggi kesaktiannya yang ada dalam dirinya. Hingga seluruh ilmu yang dimiliki Jambumangli telah habis, kekuatan-kekuatannya telah lenyap.

"Wahai Resi, Pendeta pelacur! Pendeta yang dihinggapi nafsu! Ternyata engkau amat sakti. Dan aku tidak lagi mempertahankan kesaktian, karena aku tahu, kesaktianmu diperoleh dengan kekuatan birahi yang engkau lakukan bersama keponakanku, Dewi Sukesih! Ternyata kesaktianmu melebihi kesaktian seluruh ksatria, karena engkau membelinya dengan nafsu yang tinggi. Kau membeli kesaktian itu dengan menjalankan puasa demi memuaskan nafsu, dengan mengejar nafsu cinta dan nafsu birahi untuk menundukkan Dewi Sukesih. Aku mengakui kehebatanmu dan aku mengakui bahwa kesaktian itu diperoleh melalui nafsu dan kehausan akan cinta", kata Jambumangli dengan penuh kebencian.

Aneh memang bagaimana hinaan bisa menjadi kenikmatan bagi Sang Begawan. Namun fitnah tersebut mampu membangkitkan rasa sakit dalam jiwanya. Ketika rasa sakit itu melanda dengan deras, anak-anaknya yang tiga mulai tumbuh besar dan dewasa dengan cepat, melampaui batasan waktu. Rasa tersinggung sang Resi, dengan cepat membimbing mereka ke arah kedewasaan. Sang Resi kembali ke alam kesuciannya. Hanya dalam alam kesucian itulah sebagai keimanan seorang Resi yang sempurna, ia bisa mengatasi perasaan-perasaan tersinggung tersebut.

Suara dari Nirwana pun berkata, "Wahai Begawan Wisrawa, bunuhlah Arya Jambumangli. Kemarahan yang telah dihasilkan oleh anak-anakmu telah melampaui kemarahan dunia, melampaui noda-noda dunia. Jangan biarkan tambahan kemarahan dari Jambumangli. Namun, bunuhlah Jambumangli, bukan melalui siksaan. Bunuhlah dengan kenikmatan yang telah engkau peroleh dari Sastra Jendra!"

Maka Sang Begawan mengeluarkan 'alat' dari dalam dirinya sendiri. Pusaka itu tidak tersembunyi di luar tubuhnya, tetapi di dalam tubuh fisiknya. Ia mengambil sebuah pusaka dari perutnya, dan terpancarlah cahaya kuning yang membutakan mata Jambumangli. Jambumangli yang sebelumnya marah, menjadi tergila-gila. Tiba-tiba, ia tersenyum dan keringat mulai mengalir dari seluruh tubuhnya, membuka bajunya sendiri hingga telanjang bulat! Terlihatlah pemandangan yang aneh. Jambumangli seolah-olah sedang dipermainkan oleh gairah yang dahsyat, hasrat seksualnya terangsang, nafasnya mengaum seperti kuda jantan yang penuh gairah, gelisah!

Ternyata cahaya kuning dari Pusaka tersebut membawa gambaran, rekaman dari peristiwa saat Begawan memiliki hubungan suami-istri yang berlebihan dengan Dewi Sukesih. Peristiwa itu terulang kembali! Jambumangli terlibat dalam pengulangan peristiwa tersebut. Dan di puncak syahwat, Jambumangli berguling-guling di tanah, yang disaksikan oleh sang Begawan. Akhirnya, desahan Jambumangli terungkap."

"''Oh Dewi Sukesih, ternyata aku berhasil memilikimu, engkau menjadi istriku. Aku menyentuh tubuhmu, menciummu, dan kau mencintai aku, Dindaku, istriku. Kau menjadi milikku dan aku merasa puas hidup di dunia ini. Kekasihku, Cintaku, Dewi Sukesih," kata Jambumangli dengan senyuman.

Senyuman itu seolah menjadi tarikan nafas terakhirnya. Jambumangli mati dalam kepuasan yang sempurna, merasakan kenikmatan syahwat bersama Dewi Sukesih, seakan-akan. Meskipun pada hakikatnya, kejadian itu memang terjadi demikian, karena Rahmat Allah terlalu luas 'Nafidad Kalimatullah'. Kepuasan dan realitas memiliki Dewi Sukesih tetap diberikan. Namun, yang dimiliki bukanlah keikhlasan kesucian ilmu Sastra Jendra yang ada dalam diri Dewi Sukesih. Yang dimiliki adalah nafsu fisik dan sisi feminin Dewi Sukesih. Hal itu dibawa bersama dalam kematiannya.

Suara dari Nirwana kemudian terdengar, "Wahai Begawan, engkau telah menyelesaikan tugas membunuh Jambumangli, demi kedamaian dunia, dengan ilmumu. Ia mati karena peristiwa hidupmu, mati karena pengalaman hidupmu, nafasmu, dan cintamu. Ia mati karena keikhlasanmu dan kesaktianmu. Namun, sisa-sisa nafsu yang ada dalam dirimu, karena peristiwa 'hubungan intim' telah engkau wariskan kepada Jambumangli. Dan oleh Jambumangli, sisa-sisa itu kembali ke asalnya. Biarkanlah Jambumangli, matinya dalam kenikmatan seksual, karena itu adalah kehendak Dewa Yang Agung."

Dewi Sukesih menyaksikan peristiwa ini, "Kakanda, begitu tragis! Aku merasa takut, aku terbawa arus. Nafsu, fisik tubuhku sebagai seorang wanita. Aku merasa takut. Bukankah aku manusia yang harus menyertakan perasaan kewanitaanku?"

"Wahai Dewi Sukesih, istriku, kau harus bersyukur," jawab Begawan Wisrawa. "Engkau telah dimanfaatkan oleh pamamu sendiri, yang mencintai nafsumu, yang mencintai kefemininanmu. Pesona tubuhmu telah hilang sekarang di dunia ini, kembali ke asalnya. Dibawa oleh 'kendaraan cinta' yang ada dalam diri pamamu."

Kehadiran Batara Narada pun diperkenankan untuk menyampaikan pesan berikut:

"Wahai anak-anakku, kalian telah berhasil mengantar bayi-bayi ini hingga tumbuh dewasa. Seiring dengan pertumbuhan mereka, juga datanglah pengampunan dari Yang Maha Murbeng, yang selalu menyertai kalian. Sekarang kalian bebas dari dosa dan noda. Kalian suci dari ujung rambut hingga ujung kaki, suci dalam segala pikiran dan perasaan, suci dalam jiwa dan batin, serta suci dalam jati diri kalian. Aku mengutus 'Atma' dari surga puncak, 'Atma' yang merupakan hakiki diri kalian. Atma diri kalian akan Kukembalikan, wahai Begawan Wisrawa, dan Atma diri kalian, wahai Dewi Sukesih. Gunakanlah kembali Atma diri kalian, hakiki diri kalian yang telah lama kalian simpan di arsip Kahyangan, sesuai dengan kehendak Hyang Widhi."

Maka, munculah sinar yang menggambarkan wajah dan bentuk yang persis dengan mereka. Atma tersebut menyapa dengan lembut,

"Wahai sang Begawan, aku telah lama ditinggalkan olehmu. Aku juga telah lama dilupakan olehmu, tetapi kerinduan ini diberikan izin oleh Hyang Widhi untuk kembali kepadamu. Terimalah kedatanganku ke dalam rumah jiwamu, ke dalam dunia pikiranmu."

Sang Begawan menjawab,

"Selamat datang, wahai diriku yang telah lama kusayangi. Selamat datang, hatiku yang telah lama merindukan kebenaran. Selamat datang, wahai jiwaku yang selama ini kuperjuangkan. Masuklah ke dalam rumahmu yang telah lama kumaburkan. Masuklah ke dalam rumahmu yang telah lama kucekik. Dan tidurlah dengan nyenyak di tempat tidur yang disucikan oleh spermaku, wahai diriku. Masuklah ke dalam jagad yang sebelumnya kosong di dunia ini."

Atma itu pun memasuki tubuh keduanya, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih.

Batara Narada berkata,

"Wahai Begawan, kau telah kembali kepada hakiki dirimu. Kau telah kembali kepada jati dirimu yang telah kau pegang. Penderitaan yang telah kau alami telah berakhir. Pengorbanan yang telah kau lakukan juga telah selesai, karena sang Atma adalah puncak dari segala dharma. Ibadah tidak lagi diperlukan, karena sang Atma adalah ibadah itu sendiri. Kini kau menjadi bagian dari kami, para dewa di Surga. Dan kau juga telah menjadi dewa di dunia ini, di bumi ini. Wahai Begawan, segeralah kunjungi Nirwana. Namun, wahai Dewi Sukesih, engkau masih memiliki tugas untuk merawat dan membesarkan anak-anakmu. Jika engkau merindukan Hyang Widhi, datanglah ke Nirwana melalui meditasi. Dan jika engkau merasa bertanggung jawab pada kasih sayang terhadap anak-anakmu, bangunlah dari meditasi."

Sang Dewi berseru,

"Wahai Dewa Narada, mengapa aku tidak diundang ke Nirwana?"

Batara Narada menjawab,

"Wahai Ratu Bumi, wahai Ratu Dunia, cinta dan kasih sayangmu masih sangat dibutuhkan oleh umat manusia. Cinta dan kasih sayangmu diperlukan untuk memperluas keturunan manusia serta menjaga keseimbangan ekosistem hewan dan tumbuhan. Agar dedaunan tetap hijau dan bumi terus berputar. Terimalah dharma ini sebagai penghormatan dari kami, para Dewa. Biarkanlah suamimu mengunjungi Nirwana terlebih dahulu. Tunggulah, sampai saat Dewa mengajakmu ke Nirwana. Engkau akan sampai di sana dengan rukhmu, tubuhmu, dan jiwamu."

Sang Begawan pun melanjutkan perjalanan pikirannya, mengabdi dalam meditasinya yang merupakan Nirwana Dunia (bumi).

"Keinginan untuk menjelajahi dunia dalam kesunyian, dalam meditasi, dalam pemahaman diri menjadi cita-cita para filsuf, sufi, pertapa, ahli yoga, dan juga penganut kejawen. Umat Islam memiliki praktik tapa yang sempurna, yaitu 'Shalat', yang dilakukan dengan kesalehan tertinggi. Sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah saw, 'Isra' Mi'raj' adalah 'Shalat' bagi umatnya. Shalat merupakan puncak nilai-nilai yang diberikan hanya kepada umat Rasulullah SAW, tidak kepada umat lain."

Ketika Begawan Wisrawa dijemput di Nirwana oleh para Dewa, Bidadari, termasuk Batara Narada, Batara Guru, dan Batara lainnya, mereka mengajukan pertanyaan kepada Begawan ini yang telah berubah statusnya menjadi Batara. Batara Wisrawa (dalam wayang Batara Ismaya):

"Wahai Batara Wisrawa, apakah engkau dapat membersihkan air-air yang tercemar dunia dari Permata Kehidupan yang terdapat di dinding Nirwana ini? Kami, para Dewa, tidak mampu membersihkan air yang tercemar ini, karena cahaya surga terhalang oleh air yang tercemar tersebut. Hanya engkau, Batara Wisrawa, yang mampu membersihkannya dan mengembalikan air yang tercemar ini ke bumi, karena engkau dapat kembali ke bumi."

Hal ini tidak tertulis dalam Weda atau kitab suci manapun, hanya dapat diwujudkan dengan menggunakan "Senter Besar Mutasyabih" yang tersembunyi dalam rahasia-rahasia Al-Qur'an. Karena kita telah memberikan wujud dari "Cupu Manik Astagina."

Maka Batara Wisrawa mengumpulkan air yang tercemar dari dunia yang menempel pada permata cahaya di dinding surga. Namun, setelah membersihkannya, ternyata cahaya surga yang berkurang tidak dapat pulih kembali.

Para Dewa berkata, "Wahai Batara Wisrawa, engkau telah berhasil menyimpan kembali air yang tercemar dalam mangkuk jiwamu. Tetapi cahaya gemerlap yang biasanya ada di Surga berkurang. Permata-permata indah yang biasanya memancarkan cahaya gemerlap di alam Kahyangan terlihat redup. Tetap redup meskipun air yang tercemar itu telah diambil."

Batara Narada berkata, "Wahai para Dewa, perhatikanlah! Peristiwa ketika manusia mencoba memasuki Nirwana, dipicu oleh pengetahuan Sastra Jendra Hayuningrat yang tinggi, menyebabkan cahaya Nirwana berkurang. Meskipun Batara Wisrawa telah mengambil air yang tercemar itu ke dalam dirinya, cahaya tetap redup. Permata-permata itu terlihat suram. Permata indah di dinding surga menjadi suram."

Batara Narada memberi istilah kepada sumber cahaya yang tadinya bersinar menjadi redup, permata-permata yang tadinya berkilau menjadi suram, sebagai "Air Permata Sendu." Inilah Air Permata Sendu, permata air kehidupan yang redup.

Kemudian Batara Narada memohon kepada Sang Hyang Widhi di puncak Nirwana:

"Duhai Hyang Widhi Yang Agung, Dewata Sang Pencipta Segala Dewa, hanya Engkaulah yang mampu mengembalikan cahaya yang telah memudar di Nirwana ini."

Mendengar suara Allah Yang Maha Kuasa, terdengar firman-Nya:
"Hanya Aku yang memiliki kemampuan untuk mengembalikan cahaya dari semua bintang yang telah Ku ciptakan. Hanya Aku yang dapat memulihkan cahaya. Aku akan turun ke Nirwana, membawa serta cahaya."

Maka, Sang Hyang Wenang Maha Dewata Agung, Yang Agung dan Maha Mulia, Allah subhanahu wa ta'ala, turun ke Nirwana. Ia turun dari Puncak Muntaha menuju Nirwana, membawa cahaya serta menyampaikan firman-Nya:
"Siapakah yang sanggup menerima 'Ijab Qabul' dari cahaya ini?" Semuanya terdiam. Batara Guru, Batara Narada, dan semua Dewa termenung, begitu juga Batara Wisrawa.

"Engkau, Wisrawa?" tanya Sang Hyang Agung, "Bisakah engkau menerima 'Ijab Qabul' dari cahaya ini? Engkau telah menyimpan kembali air yang tercemar dunia ke dalam jagad jiwamu. Oleh karena itu, Aku tergerak untuk turun ke Nirwana ini. Sepertinya engkau dapat mewakili semua Dewa untuk menerima cahaya Nirwana ini."

Batara Wisrawa menundukkan kepala tanpa berkata-kata, bahkan keindahan perasaannya pun memudar! Ia merasa begitu malu, malu kepada Sang Pencipta yang Maha Esa.

"Berarti, tak ada yang sanggup menerima cahaya, sumber cahaya ini," lanjut firman Hyang Widhi, "Cahaya pujian dari Negeri-Ku, dari Istana-Ku. Cahaya pujian, cahaya yang terpuji, Nur yang terpuji, Nur Muhammad. Artinya, Aku yang harus menentukan siapa yang mewakili sumber Cahaya yang Terpuji ini. Biarkanlah Aku yang lebih mengetahui, kepada siapa Aku lebih mencintai daripada semua Dewa di sini."

Dengan tatapan penuh keagungan, Sang Hyang Widhi memandang semua Dewa, satu per satu. Akhirnya, tatapan-Nya yang penuh kesempurnaan berhenti pada Batara Guru.

"Wahai Batara Guru, engkaulah yang paling Aku cintai di antara semua makhluk, bahkan lebih dari Nirwana yang telah Aku ciptakan beserta segala isinya. Aku hampir melebihi cintaku pada Diri-Ku sendiri. Bawalah Kekuasaan Cahaya ini, wahai Batara Guru."

Batara Guru bersujud. Dan setelah ia bangkit, Kecintaan Allah pada Diri-Nya sendiri berpindah ke jagad jiwanya. Cinta Allah pada Diri-Nya sendiri ada di dalam diri Batara Guru. Cahaya yang Terpuji dari segala yang Terpuji diterima.

"Simpanlah dalam jagadmu, wahai Batara Guru."

Maka teranglah kembali cahaya surgawi yang sebelumnya memudar, bahkan lebih terang daripada sebelum terkena air noda dunia. Permata yang dulunya sendu, kini kembali berkilau! Ternyata cahaya yang ada di dalam jagad batin Batara Guru jauh lebih gemilang daripada cahaya Nirwana itu sendiri.

Sang Hyang Widhi berfirman kepada Batara Guru,
"Wahai Batara Guru, serahkanlah kembali cahaya itu kepada-Ku."
Batara Guru pun menyerahkan kembali cahaya yang terpuji dari segala yang terpuji, bersama dengan jagad batinya sendiri sebagai wadah. Inilah yang disebut sebagai Cupu Manik Astagina.

Di dalamnya terdapat Kekuatan Allah, Cinta Allah yang Maha Sempurna. Dengan tulus, cahaya tersebut dipersembahkan kembali kepada Allah, dan tetap bercahaya di Nirwana. Cahaya yang ada dalam batin Batara Guru pun tetap bersinar terang.

Firman-Nya: "Cupu Manik Astagina ini akan Kupegang untuk sementara waktu, di tempat-Ku. Ketika engkau turun ke bumi, bawalah Cupu Manik Astagina ini. Hal ini akan mempersiapkan kedatangan-Ku di dunia."

Setelah semuanya selesai, Batara Wisrawa menangis.
"Wahai Dewa-dewa, aku tidak ingin pulang! Selama sekian lama, kalian, Dewa-dewa, belum pernah bertemu dengan Sang Hyang Widhi, berhadapan dengan Kasih Maha Agung. Saya sangat beruntung bisa datang ke Nirwana ini dan bertemu dengan kalian. Saya bertemu dan berhadapan dengan Hyang Agung."

Ternyata semua dewa belum pernah bertemu, berhadapan dengan Sang Hyang Tunggal. Batara Wisrawa sangat beruntung, tetapi dampaknya membuatnya enggan kembali ke bumi.

Akhirnya, Firman-Nya datang:
"Wahai Batara Wisrawa, belum saatnya bagimu untuk meninggalkan dunia, karena dunia masih membutuhkanmu. Bawalah Cupu Manik Astagina yang telah Kugenggam, tetapi hanya cupunya saja. Isilah dengan air kehidupan dunia yang telah tersimpan di dalam jiwamu. Cukuplah dunia disucikan oleh air yang telah Kusimpan di dalam jagadmu dan diletakkan dalam wadah, Cupu Manik Astagina."

Isi dari Cupu Manik Astagina, yaitu Nur, tetap dipegang oleh Allah swt. Maka Begawan Wisrawa pun kembali turun dari Nirwana ke bumi, membawa Cupu Manik Astagina yang berisi Air Kehidupan Dunia.

Selanjutnya, Cupu Manik Astagina yang berisi air kehidupan dunia ini akan kita sebut sebagai Cupu Manik Banyu Kahuripan.

Ini adalah sebuah hukum yang belum selesai dari setiap Nabi dan Rasul yang turun ke muka bumi ini.

Definisi Sastra Jendra

Sastra Jendra sebagai Ajaran Sinengker yang artinya Rahasia

Ajaran ini berasal dari istilah Sastra Harjendra Yuning Rat yang ditemukan dalam kisah Arjoena-Sasra Baoe yang ditulis oleh pujangga R.Ng.Sindoesastra (Van Den Broek, 1870:31,33). Terdapat variasi ungkapan yang serupa, seperti Sastra Herjendra Hayuning Bumi (ibid:30), Sastra Hajendra Hayuningrat Pangruwating Barang Sakilar (ibid:31), atau Sastradi (ibid:31), sastra Hajendra (ibid:31), sastra Hajendra Yuningrat Pangruwating Diyu (ibid:31), sastra Hajendra Wadiningrat (ibid:31), Sastrayu (ibid: 32, 34), atau sastra Ugering Agesang Kasampurnaning Titah Titining Pati Patitising Kamuksan (ibid:32), Jatining Sastra (ibid:32).

Berikut adalah penjelasan arti dari masing-masing istilah (Pradipta 1995):
  • Sastra Hajendra Yuning Rat (ilmu ajaran tertinggi yang secara jelas membahas tentang keselamatan alam semesta)
  • Sastra Harjendra Wadiningrat (ilmu ajaran tentang keselamatan alam semesta untuk merawat raksasa)
  • Sastra Hajendra Wadiningrat (ilmu ajaran tertinggi tentang keselamatan alam semesta yang menjadi rahasia dunia)
  • Sastrayu (ilmu ajaran tentang keselamatan)

Penafsiran:
  • Seperti yang terdapat dalam kitab Arjoena-Sasra-Baoe, tidak ada deskripsi yang memadai mengenai bentuk, isi, dan nilai ajaran Sastra Jendra yang sinengker tersebut. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa masyarakat Jawa pada masa itu tidak mengetahui tentang bentuk, isi, dan nilai ajaran tersebut. Sebaliknya, karena uraian dalam Sindusastra singkat, dapat diasumsikan bahwa masyarakat sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai ajaran yang bersifat rahasia ini. Istilah "Sinengker" dapat diartikan bahwa situasi, kondisi, lingkungan, iklim, serta suasana sosial dan budaya saat Sastra Jendra dilahirkan mungkin belum memungkinkan untuk menerima ajaran Sastra Jendra dengan sepenuh hati dan transparan.
  • Dalam kitab Arjoena-Sasra-Baoe, Sastra Jendra hanya dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
  • Sastrarjendra hayuningrat, pangruwat barang sakalir, kapungkur sagung rarasan, ing kawruh tan wonten malih, wus kawengku sastradi, pungkas-pungkasaning kawruh, ditya diyu raksasa, myang sato sining wanadri, lamun weruh artine kang sastrarjendra. Rinuwat dening bathara, sampurna patinireki, atmane wor lan manusa, manusa kang wus linuwih, yen manusa udani, wor lan dewa panitipun, jawata kang minulya mangkana prabu Sumali, duk miyarsa tyasira andhandhang sastra.

Terjemahannya:
Ilmu/ajaran tertinggi tentang keselamatan alam semesta, untuk merawat segala hal, dahulu semua orang membicarakan tentang ilmu ini yang tidak lagi ada, telah terjalin melalui sastradi. Kesimpulan dari pengetahuan ini adalah bahwa semua jenis raksasa, dan semua hewan di hutan besar, jika mengetahui arti dari sastra Jendra, akan dirawat oleh dewa, menjadi dewa yang dimuliakan, demikianlah Prabu Sumali, ketika mendengar hatinya berhasrat untuk mengetahui Sastra Jendra.

  • Secara esensial, ilmu/ajaran Sastra Jendra yang merupakan ilmu/ajaran tertinggi tentang keselamatan, melibatkan isi dan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Mungkin karena pertimbangan tertentu, paparan yang ada baik dalam Serat Arjunasastra maupun dalam lakon-lakon wayang hanya menggarap aspek luarnya saja, belum secara menyeluruh mengungkapkan pokok bahasan dan materi yang sebenarnya dengan memadai. Meskipun demikian, bagi mereka yang memiliki pengetahuan semiotik Jawa (ilmu tanda atau ilmu tanggap samita), mungkin dapat menangkap maksud dan tujuan dari ilmu ini, serta memaknai ilmu tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dalam proyeksi mikro dan makro.
  • Struktur ilmu/ajaran Sastra Jendra dapat disusun sebagai berikut:
    • Sastra Jendra/Sastradi/Jatining Sastra/Satrayu
    • Sastra Jendra Hayuningrat
    • (Sastra Jendra untuk setiap tatasurya)
    • Sastra Jendra Hayuning Bumi
    • (Sastra Jendra untuk Bumi di mana manusia hidup)
    • Sastra Jendra Pangruwating Barang Sakelir
    • (Untuk Merawat segala Macam mahluk hidup)
    • SJP SJP SJP SJP
    • Kewan Dayu Manungsa Lsp
    • (Hewan) (Raksasa) (Manusia) (Lainnya)

Sastra Jendra Hayuning Bumi

Sastra Jendra untuk bumi di mana manusia tinggal
Kepercayaan agama terhadap Tuhan Yang Maha Esa lainnya
Agama:
  • Sastra Jendra Hayuning Bumi
  • Sastra Jendra untuk bumi di mana manusia tinggal
  • Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha
  • Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa:
  • Sastra Jendra Hayuning Bumi
  • (Serat Jendra untuk bumi di mana manusia tinggal)
  • Kanuragan Sangkan Paran Kasampurnan Kasucen
  • (SUAKTTPPK)
  • *SUAKTTPPK = Sastra Urgening Agesang Kasampurnaning Titah Titining Pati Patising Kamuksan.
  • (Ilmu/ajaran) pedoman hidup kesempurnaan manusia kesempurnaan mati kesempurnaan moksa).

Lainnya:
Sastra Jendra Hayuning Bumi
(Sastra Jendra untuk bumi di mana manusia tinggal)
Kepercayaan agama terhadap Tuhan Yang Maha Esa lainnya di dunia

Sastra Jendra sebagai komunitas Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Di Indonesia, terdapat sebuah organisasi budaya spiritual yang dikenal sebagai komunitas Sastra Jendra Hayuningrat Pangaruwating Diyu, anggotanya tersebar di 14 provinsi. Komunitas ini memiliki pusat di Jakarta dan dipimpin oleh KRMH. Darudriyo Soemodiningrat. Mereka meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan menganggap keberadaan-Nya tak tergambarkan dengan kata-kata. Menurut penjelasan dalam naskah Budaya Spiritual, terdapat pola dasar ajaran sebagai berikut:
  1. Ajaran tentang Tuhan Yang Maha Esa
  2. Ajaran tentang alam semesta
  3. Ajaran tentang manusia
  4. Ajaran tentang kesempurnaan

Menurut sumber bernama Widyo Isworo SH (alm), seorang anggota senior dari komunitas tersebut, Sastra Jendra yang sangat luas berasal dari keraton dan digunakan oleh para raja. Oleh karena itu, ilmu yang dikelola oleh komunitas ini hanya terbatas pada Sastra Jendra yang berkaitan dengan peningkatan karakter dan perilaku manusia saja. Itulah mengapa nama yang diambil adalah Sastra Jendra Hayuningrat Pranguanting Diyu. Sebelum seseorang dapat menyerap ilmu ini, ia harus terlebih dahulu memahami mikro dan makro kosmos. Setelah itu, secara bertahap ia akan memahami, menghayati, dan mengamalkan:
  1. Kasatriyan (kekesatriaan)
  2. Khadewasan (kedewasaan)
  3. Kesepuhan
  4. Kawredhan

Ilmu Sastra Jendra dan Tingkat Hidup yang Sempurna

Sastra Jendra juga dikenal dengan sebutan Sastra Ceta, suatu konsep yang mengandung kebenaran, keagungan, dan keagungan dalam penilaian tentang hal-hal yang belum nyata bagi manusia biasa. Oleh karena itu, Ilmu Sastra Jendra juga disebut sebagai ilmu atau pengetahuan tentang rahasia seluruh alam semesta beserta perkembangannya. Tugas utama Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah menjadi jalan atau cara untuk mencapai kesempurnaan dalam hidup.

Untuk mencapai tingkat kehidupan yang demikian, manusia harus melalui berbagai persyaratan atau jalan, yang pada dasarnya melibatkan kesatuan sukma dan roh. Beberapa cara yang dapat ditempuh antara lain adalah:

  • Mutih: Mengonsumsi nasi tanpa lauk-pauk atau apapun yang bersifat duniawi.
  • Sirik: Menjauhkan diri dari segala macam keduniawian.
  • Ngebleng: Menghindari makanan atau minuman yang tidak bergaram.
  • Patigeni: Tidak mengonsumsi makanan atau minuman sama sekali.

Selanjutnya, melakukan samadi dengan mengurangi asupan makanan, minuman, tidur, dan sebagainya.

Pada tahap samadi inilah seseorang umumnya akan menerima ilham atau petunjuk batin.

7 (Tujuh) Tahapan atau Tingkat Tapaning Pribadi

Ada tujuh tahapan atau tingkat yang harus dilalui untuk mencapai tingkat kehidupan yang sempurna, antara lain:

Tapaning Jasad

  • Mengendalikan atau menghentikan gerakan fisik atau aktivitas tubuh.
  • Menjauhkan sakit hati dan dendam, tidak merasa terkena sebagai sasaran akibat perbuatan orang lain atau peristiwa yang melibatkan dirinya.
  • Menerima dengan ikhlas segala hal yang terjadi dengan sungguh-sungguh dalam hati.
  • Dengan mengikuti tahapan-tahapan ini, manusia diharapkan dapat mencapai tingkat kehidupan yang lebih sempurna dan mendekati kesempurnaan.

Tingkat Budi

  • Menghindari dan menolak tindakan yang merendahkan serta segala bentuk ketidakjujuran.
  • Menjauhkan diri dari hawa nafsu dan kemarahan yang berlebihan.
  • Berperilaku dengan kesabaran, kemurnian hati, kedermawanan, kemurahan hati, memberi maaf kepada siapa pun, dan patuh kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  • Mengamati perasaan dengan sungguh-sungguh dan berusaha keras untuk mencapai ketenangan yang tidak tergoyahkan oleh siapapun atau apapun, serta memiliki kewaspadaan.

Pengendalian Hawa Nafsu

  • Mengendalikan dan menjauhkan diri dari dorongan hawa nafsu atau kemarahan yang ada pada diri sendiri.
  • Selalu bersikap sabar, tulus, dermawan, berperasaan dalam, suka memberi maaf kepada siapa pun, dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  • Mengamati perasaan dengan sepenuh hati dan berusaha dengan sungguh-sungguh menuju ketenangan yang tidak dapat terpengaruh oleh siapapun atau apapun, serta memiliki kewaspadaan yang tenang.

Tingkat Sukma

  • Mencapai kemenangan dalam kehidupan batin. Kedermawanan yang dimiliki seharusnya meluas.
  • Setiap pemberian kepada siapapun harus didasarkan pada ketulusan hati, seolah-olah sebagai pengorbanan yang begitu besar, sehingga tidak menimbulkan kerugian apapun bagi siapa pun.
  • Dengan singkatnya, pemberian dilakukan tanpa melukai perasaan orang lain.

Tingkat Cahya

  • Seseorang harus selalu waspada dan memiliki kemampuan untuk meramalkan sesuatu dengan tepat.
  • Hindari terperangkap atau terganggu oleh keadaan yang bersinar terang, yang bisa menyebabkan penglihatan yang kabur dan samar.
  • Selain itu, segala kegiatan harus selalu diarahkan untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan umum.

Tingkat Gesang

Berjuang dengan penuh upaya dan hati-hati, menuju kesempurnaan hidup, serta taat kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tingkat Hidup Tertinggi

Mengingat jalan atau cara tersebut berada pada tingkat kehidupan yang paling tinggi, maka:

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu juga disebut sebagai "Benih seluruh semesta alam."

Hal ini semakin menguatkan bahwa Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu hanya berperan sebagai kunci untuk memahami esensi Rasajati, di mana tindakan yang sesuai sangat diperlukan untuk mencapai hal yang mulia.

Rasajati mencerminkan jiwa atau dimensi halus dari setiap individu, termasuk keinginan, kecenderungan, dan dorongan hati yang kuat, baik ke arah yang baik maupun buruk atau jahat.

Nafsu sifat tersebut adalah Lumamah (kemarahan yang tidak terkendali), Amarah, dan Supiyah (nafsu birahi). Ketiga sifat ini melambangkan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakaturan atau kekacauan dalam berbagai aspek masyarakat, seperti penderitaan, bencana, kemiskinan, dan sebagainya.

Namun, terdapat pula sifat Mutmainah (nafsu yang baik), yang berarti memiliki hati yang baik, berbicara dengan baik, jujur, dan sejenisnya. Sifat ini selalu mencegah tindakan-tindakan yang tidak pantas atau tidak senonoh.

Sastra Cetha / Sastra Jendra Hayuningrat

Tentang, Teknik Pencapaian Ketenangan:

Mulailah dengan posisi tidur telentang, kaki lurus, dan telapak tangan menempel pada paha. Tempelkan telapak kaki kanan pada telapak kaki kiri (posisi saluku tunggal).

Perhatikan napas dan konsentrasi: Tarik napas dari pusar hingga naik ke dada dan tenggorokan, kemudian naik lagi ke ubun-ubun (tahan sekuat mungkin), lalu perlahan-lahan turunkan ke pusar sambil menghembuskan napas.

Pada saat menarik napas, ucapkan secara batiniah 'huu', dan saat melepaskan napas, ucapkan 'yaa'. Lakukan tiga kali tarikan/pelepasan napas pada setiap tahapan (Tripandurat), kemudian beristirahat sejenak sebelum melanjutkannya.

Semakin lama kita mampu menahan napas (di ubun-ubun), semakin baik. Tetapi perlu diingat bahwa setiap Tripandurat harus diikuti dengan jeda istirahat singkat. Saat roh atau semangat bersatu di ubun-ubun (susuhunan), itulah yang disebut manunggaling kawula gusti. Artinya, ketika napas naik, kita menyatu dengan gusti, dan saat turun, kita kembali menjadi diri sendiri. Namun, yang dimaksud di sini bukan hanya napasnya, melainkan juga pikiran dan perasaannya.

Teknik konsentrasi semedi ini dapat dilakukan sambil menjalani aktivitas sehari-hari, dengan tetap mengatur napas dan mengulang mantra "huu-yaa" di atas.

Banyak orang yang ingin memahami Sastra Jendra ini mengikuti dengan kesetiaan yang tulus kepada-Nya, dan hasilnya adalah pembelajaran tentang kehidupan yang mendalam, dengan tunduk kepada Tuhannya. Jika semua ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka akan diperoleh ajaran yang sejati, yang dapat disebut sebagai Sastra Jendra Pangruwating Diyu. Di tempat saya, "sastra" berarti tulisan, dan "jendra" berarti papan. Ini adalah ilmu yang diajarkan tanpa perantara, yaitu tulisan tanpa batas (tanpa tempat menulis), dan untuk mencapainya diperlukan papan tanpa tulisan, atau tempat yang hanya diisi oleh Tuhan.

Selanjutnya, Sastra Jendra disebut juga sebagai Sastra Cetha, yang berarti jelas. Namun, mengapa masih ada yang mencarinya? Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi kita. Meskipun dikatakan jelas, jika tidak ada praktek yang cukup untuk memahaminya, maka tak akan pernah ditemukan. Sastra Cetha sendiri juga menunjukkan bahwa mereka yang telah memahami isi Sastra Jendra tidak akan ragu-ragu, tidak akan bingung dengan dunia ini karena mereka yakin akan tujuan hidup mereka.

Kemudian, untuk mencapai hal tersebut, langkah awal yang diambil adalah melalui samadhi. Samadhi dilakukan dengan sepenuh hati menyerahkan diri kepada kehendak Ilahi dan dengan sungguh-sungguh menyerahkan segala dosa dan kehidupan kita.

Metode pernapasan yang digunakan adalah pernapasan halus, yaitu menjaga agar pernapasan berlangsung secara teratur antara keluar dan masuknya napas. Tidak boleh ditahan atau disengaja dihabiskan. Napas harus tetap teratur seperti saat kita tidur, tanpa gangguan. Pikiran difokuskan pada aliran napas, terus merasakan keluarnya dan masuknya napas. Jika dalam tahap meditasi ini kita merasakan atau melihat sesuatu, biarkan itu terjadi dan teruslah fokus pada pernapasan. Melalui praktik yang konsisten, kita akan secara alami menemukan rahasia potensi diri kita sendiri.

Kemudian, langkah awal untuk mencapai hal tersebut adalah dengan samadhi. Samadhi dilakukan dengan sungguh-sungguh menyerahkan diri kepada kehendak Yang Maha Kuasa dan dengan tulus menerima dosa-dosa dan kehidupan kita.

Olah rasa juga merupakan bagian penting, yaitu mengolah dan merasakan rasa jati, berusaha untuk merasakan rasa yang sejati.

Demikianlah uraian singkat mengenai Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu berdasarkan pemahaman yang terbatas ini. Meskipun demikian, semoga masih ada manfaat yang dapat diperoleh.

Pesan Moral dan Ajaran Kebijaksanaan

Nilai-nilai yang Terkandung dalam Karya

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu mengandung berbagai pesan moral dan ajaran kebijaksanaan yang berharga. Melalui cerita dan perjalanan pahlawan, karya ini ingin menyampaikan nilai-nilai penting yang dapat membimbing manusia dalam menjalani kehidupan.

Beberapa nilai yang terkandung dalam karya ini antara lain:
  • Kebaikan: Karya ini menekankan pentingnya bertindak dengan kebaikan dan memberikan manfaat bagi orang lain. Jendra, sebagai pahlawan dalam cerita, dituntut untuk bertindak dengan niat yang baik dan membantu sesama.
  • Kesetiaan: Nilai kesetiaan juga ditekankan dalam karya ini. Jendra menunjukkan kesetiaannya terhadap nilai-nilai yang diyakininya dan kepada orang-orang yang membantu dan mendukungnya dalam perjalanan hidupnya.
  • Kebijaksanaan: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu mengajarkan pentingnya kebijaksanaan dalam menghadapi berbagai situasi dan ujian hidup. Jendra belajar untuk berpikir dengan jernih, mengambil keputusan yang bijaksana, dan menjalani kehidupan dengan penuh kearifan.

Pengajaran tentang Kebaikan, Kesetiaan, dan Kebijaksanaan

Melalui cerita perjalanan pahlawan, karya ini mengajarkan pembaca tentang pentingnya mempraktikkan nilai-nilai kebaikan, kesetiaan, dan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari.

Pesan moral dan ajaran kebijaksanaan yang terkandung dalam karya ini dapat dijadikan panduan bagi pembaca untuk menghadapi berbagai tantangan dalam hidup. Karya ini mengajak pembaca untuk berintrospeksi, merenungkan tindakan dan keputusan yang diambil, serta mendorong untuk menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan kearifan.

Dengan memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, diharapkan pembaca dapat mencapai kebijaksanaan, kebaikan, dan kesetiaan dalam menjalani kehidupan sehari-hari serta memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.

Makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah istilah dalam bahasa Jawa yang memiliki makna mendalam. Mari kita jelaskan setiap poin dengan lebih detail:

Sastra berarti Ajaran

Dalam konteks ini, sastra merujuk pada karya-karya sastra yang memiliki nilai-nilai moral, filosofis, atau spiritual. Sastra dianggap sebagai bentuk ajaran yang disampaikan melalui tulisan, puisi, cerita, atau drama. Karya sastra sering kali mengandung pesan-pesan yang dapat mempengaruhi pemikiran, perasaan, dan tindakan pembaca atau penontonnya.

Jendra berasal dari Kata Harja yang memiliki arti Keselamatan dan Endra yang berarti Raja atau Penguasa

Jendra menggambarkan konsep keselamatan atau keamanan yang diwujudkan dalam bentuk penguasaan atau kepemimpinan yang bijaksana. Dalam konteks ini, Jendra mengacu pada tindakan atau sikap seorang pemimpin yang bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang aman, sejahtera, dan harmonis bagi masyarakatnya. Penguasa yang baik dan bijaksana akan berusaha melindungi dan memelihara kesejahteraan rakyatnya.

Hayuningrat berarti Keindahan Semesta Alam

Hayuningrat mengacu pada konsep keindahan alam semesta. Istilah ini menunjukkan pemahaman bahwa alam semesta ini merupakan ciptaan yang indah dan sempurna, serta memiliki keterkaitan yang harmonis antara semua makhluk di dalamnya. Hayuningrat juga dapat mencerminkan keindahan batiniah atau spiritual yang terkandung dalam karya-karya sastra.

Pangruwating Diyu berarti Ruwat atau Peluruh Watak Angkara Murka

Pangruwating Diyu menggambarkan proses ruwatan atau peluruh watak angkara murka. Dalam konteks ini, angkara murka merujuk pada sifat-sifat negatif seperti amarah, kebencian, kekerasan, atau nafsu yang dapat merusak keharmonisan dan keseimbangan dalam kehidupan. Pangruwating Diyu menggambarkan upaya untuk melepaskan atau membersihkan diri dari sifat-sifat negatif ini melalui upacara, ritual, atau praktik spiritual tertentu. Hal ini bertujuan untuk mencapai keadaan pikiran dan hati yang tenang, damai, dan terbebas dari konflik.

Secara keseluruhan, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah istilah yang menggambarkan nilai-nilai ajaran dalam karya sastra, kepemimpinan yang bijaksana untuk mencapai keselamatan atau keamanan, pemahaman akan keindahan alam semesta, dan upaya untuk meluruhkan sifat-sifat negatif dalam diri manusia. Istilah ini mencerminkan nilai-nilai budaya dan spiritual yang penting dalam tradisi Jawa.

Gambaran Budaya dan Masyarakat Jawa:

Pencitraan Kehidupan dan Adat Istiadat pada Masa Lalu

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu memberikan gambaran tentang kehidupan dan adat istiadat masyarakat Jawa pada masa lalu. Karya ini mencerminkan budaya Jawa yang kaya dan kompleks, dengan nilai-nilai tradisional yang dijunjung tinggi.

Dalam karya ini, pembaca dapat melihat pencitraan tentang kehidupan sehari-hari, seperti hubungan antara sesama manusia, tata krama dalam pergaulan, serta tatanan sosial yang ada pada masa tersebut. Karya ini juga menggambarkan kegiatan ritual dan upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa.

Adat istiadat Jawa, seperti sistem kerajaan, pernikahan, dan upacara keagamaan, turut diangkat dalam karya ini. Melalui penjelasan mengenai adat istiadat ini, pembaca dapat memahami tata nilai dan norma yang menjadi landasan dalam kehidupan masyarakat Jawa pada masa lalu.

Nilai-nilai yang Dijunjung Tinggi dalam Masyarakat Jawa

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu juga mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Jawa. Beberapa nilai tersebut antara lain:

  • Gotong royong: Masyarakat Jawa dikenal dengan semangat gotong royongnya, yaitu saling membantu dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Nilai ini tercermin dalam karya ini, di mana Jendra mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai tokoh dalam perjalanannya.
  • Bhakti kepada leluhur: Masyarakat Jawa memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap leluhur dan nenek moyang. Karya ini mencerminkan penghormatan terhadap leluhur melalui penggambaran tokoh mitologis yang melibatkan aspek spiritual dan hubungan dengan dunia yang lebih tinggi.
  • Kedamaian dan keharmonisan: Konsep kehidupan yang harmonis dan damai sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat Jawa. Karya ini menekankan pentingnya menjaga kedamaian dan keharmonisan dalam berinteraksi dengan sesama dan alam sekitar.

Dengan memberikan gambaran budaya dan masyarakat Jawa, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Jawa pada masa lalu. Karya ini menjadi salah satu jendela bagi pembaca untuk mengetahui dan mengapresiasi warisan budaya yang kaya dalam tradisi masyarakat Jawa.

Gaya Penulisan dan Bahasa

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu memiliki gaya penulisan dan bahasa yang khas. Karya ini ditulis dalam bahasa Jawa klasik, menggunakan kosakata dan ungkapan yang khas dalam sastra Jawa kuno.

Gaya penulisan dalam karya ini cenderung mengikuti pola sastra tradisional Jawa yang terdiri dari bait-bait atau pupuh-pupuh. Pemakaian bahasa yang indah dan puitis, dengan penggunaan imaji, perumpamaan, dan figur retoris, memberikan kekayaan ekspresi dalam karya ini.

Selain itu, karya ini juga menggunakan berbagai gaya bahasa seperti majas (perumpamaan), sindiran, dan alegori. Gaya bahasa ini digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan ajaran kebijaksanaan dengan cara yang indah dan berkesan.

Penulis Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu mampu menggabungkan keindahan bahasa dengan substansi cerita, sehingga menciptakan karya yang berharga secara sastra dan bermakna secara intelektual.

Bahasa Jawa klasik yang digunakan dalam karya ini merupakan bentuk bahasa Jawa yang digunakan pada masa lalu, dengan kosakata, tata bahasa, dan gaya penulisan yang berbeda dari bahasa Jawa modern yang digunakan saat ini. Oleh karena itu, memahami dan mengapresiasi karya ini membutuhkan pemahaman yang baik tentang bahasa Jawa klasik.

Gaya penulisan dan bahasa yang khas dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu memberikan keunikan tersendiri dalam karya sastra ini. Melalui gaya bahasa yang indah dan penggunaan bahasa Jawa klasik, karya ini menjadi bukti kepiawaian penulis dalam menyampaikan pesan dan cerita dengan keanggunan dan keindahan yang tak tergantikan.

Pentingnya Pemeliharaan dan Pembelajaran

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu merupakan warisan budaya yang berharga bagi Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pemeliharaan dan pembelajaran terhadap karya sastra ini agar tidak terlupakan dan tetap dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan mendatang.

Pemeliharaan karya sastra ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
  • Pelestarian naskah: Naskah asli atau salinan karya Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu perlu dijaga dan dilestarikan dengan baik. Langkah-langkah perlindungan seperti penyimpanan yang tepat dan perlakuan khusus terhadap bahan dapat memastikan kelangsungan dan keaslian naskah tersebut.
  • Penelitian dan dokumentasi: Melakukan penelitian lebih lanjut terhadap karya ini dapat menghasilkan pemahaman yang lebih dalam tentang konteks sejarah, budaya, dan pengaruhnya terhadap perkembangan sastra Jawa dan budaya Jawa pada masa lalu. Dokumentasi yang komprehensif juga penting agar informasi terkait karya ini dapat diakses oleh para peneliti dan peminat sastra di masa depan.
  • Pengajaran dan pembelajaran: Karya Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan, baik di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi, sebagai bahan pembelajaran sastra dan budaya. Melalui pengajaran, generasi muda dapat mengenal, menghargai, dan memahami warisan budaya ini.
  • Diseminasi dan promosi: Mengenalkan karya ini melalui media sosial, pameran budaya, festival sastra, dan kegiatan lainnya dapat meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat terhadap Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Promosi yang efektif akan memperluas jangkauan pengaruh karya ini dan memperkenalkannya kepada lebih banyak orang.

Pemeliharaan dan pembelajaran terhadap Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sangat penting untuk memastikan bahwa kekayaan sastra dan budaya Indonesia tidak terlupakan. Dengan menjaga, mempelajari, dan mempromosikan karya ini, kita dapat mewariskan kekayaan budaya kepada generasi mendatang, serta meningkatkan apresiasi terhadap keunikan dan keindahan sastra Indonesia.

<a href="https://www.pshterate.com/"><img src="Pencitraan Kehidupan dan Adat Istiadat pada Masa Lalu.jpg" alt="Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu"></a>

Kesimpulan

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah karya sastra yang memiliki nilai yang mendalam dan bermakna. Melalui perjalanan pahlawan dan pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya, karya ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti kehidupan, menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, kesetiaan, dan kebijaksanaan, serta memahami warisan budaya dan masyarakat Jawa pada masa lalu.

Dalam karya ini, gaya penulisan dan penggunaan bahasa Jawa klasik memberikan keindahan dan keunikan tersendiri. Pemeliharaan dan pembelajaran terhadap karya ini menjadi penting agar warisan budaya ini tidak terlupakan dan tetap dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan yang akan datang.

Penting untuk menjaga dan melestarikan naskah karya ini, melakukan penelitian dan dokumentasi yang komprehensif, serta mengintegrasikannya dalam pembelajaran dan promosi budaya. Dengan cara ini, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu dapat terus hidup dan memberikan kontribusi dalam memperkaya sastra dan budaya Indonesia.

Karya ini memberikan inspirasi dan pengajaran bagi pembaca dalam menjalani kehidupan dengan baik, mempertahankan nilai-nilai kebaikan, kesetiaan, dan kebijaksanaan. Melalui pemahaman dan pengaplikasian pesan-pesan yang terkandung dalam karya ini, diharapkan kita dapat mencapai pencerahan dan memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar kita.

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu merupakan bagian penting dari warisan budaya Indonesia, dan dengan menjaga, mempelajari, dan mempromosikan karya ini, kita dapat mempertahankan kekayaan sastra dan budaya kita, serta meningkatkan apresiasi terhadap warisan budaya yang telah ditinggalkan oleh nenek moyang kita.

Post a Comment for "Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu"